Konflik dalam pernikahan (Foto : Unsplash) |
Pada kenyataannya, boro-boro mempraktekkan teori, 'membaca' pasangan hidup saja ---yang telah kita pilih sendiri tanpa tekanan dari mana-mana--- rasanya sudah begitu menghabiskan energi. Lantas tergagap-gagap. Lalu kelelahan. Apatah lagi belajar memahaminya. Itu luar biasa sulit.
Persoalannya menjadi kian rumit, saat ada perbedaan latar belakang, baik pendidikan, ekonomi dan suku budaya.
Hei, nggak bisa dipungkiri, perbedaan-perbedaan ini memiliki pengaruh yang besar pada karakter dan pola komunikas, juga cara berpikir. Hingga pada akhirnya akan mempengaruhi interaksi dengan pasangan. Lalu, diam-diam muncul perasaan, duh kok dia gini sih ternyata? Gak oke banget.
Maka tak heran, banyak orang tua yang lebih menyukai menantu yang sesuku, atau memiliki banyak persamaan dengan anaknya.
Tujuannya tak lain untuk meminimalisir konflik dalam rumah tangga.
Jika dalam budaya Jawa dikenal dengan istilah : bebet, bibit, bobot.
Dalam Islam, ada istilah : sekufu.
Adanya kesetaraan atau kesamaan baik dari pemahaman agama, pendidikan, dan lain-lain.
Maka jangan heran, banyak pernikahan yang diatur atau direstui ortu terasa lebih mudah untuk dijalani. Bagaimanapun adanya persamaan akan memudahkan kita mengendalikan biduk rumah tangga.
Faktor keluarga besar pun ternyata bisa menyumbang konflik dalam rumah tangga yang baru dibangun. Jangan pernah berpikir menikah hanya dengan satu orang saja. Begitu kita menikah, sejatinya kita menikahi keluarga besarnya. Dengan segala permasalahan dan kebiasaannya.
Jangan polos-polos amat memasuki gerbang pernikahan. Cinta saja sungguh tidak cukup, Sayang.
Mengetahui kondisi keluarga calon pasangan akan membantu kita memahami dan memiliki persiapan menghadapi potensi konflik yang muncul di kemudian hari.
Selain faktor di atas konflik yang paling sering muncul pada awal-awal pernikahan adalah anak.
Ya, kehadiran anak selain sebagai perekat suami istri, juga berpotensi menimbulkan perselisihan. Hal ini biasanya dipengaruhi kebiasaan yang dibawa dari keluarga asal sehingga mempengaruhi pola asuh anak.
Misalnya keluarga suami berasal dari lingkungan militer yang keras dan penuh disiplin, sementara istri tidak, ini bisa menjadi konflik saat mengasuh buah hati.
Begitu juga dengan kebiasaan-kebiasaan kecil yang awalnya terasa biasa saja, namun lama-kelamaan menimbulkan rasa jengkel yang terus menumpuk.
Padahal, jika kita sedikit lebih jujur, bukankah kita pun tidak baik-baik amat. Kita pun banyak kekurangan.
Bisa jadi kekurangan yang kita miliki ditutupi oleh kelebihan pasangan. Sebaliknya, kekurangan pasangan pun adalah kelebihan yang ada pada diri kita.
Bagaimana solusi menyelamatkan pernikahan ?
Sederhana saja sih sebetulnya cara menyelamatkan pernikahan pada masa-masa awal ini.
Kuncinya adalah ridho, dan banyak bersyukur
Ridho
Dengan ridho, kita akan menerima kelebihan dan kekurangan pasangan.
Ridho akan memudahkan kita meletakkan ego kita, untuk melihat lebih luas tentang masalah yang kita hadapi.
Ridho akan membaguskan hal-hal yang semula tampak buruk di mata kita.
Ridho akan menekan keinginan kita untuk mengubah pasangan menjadi seperti apa yang kita maui.
Bukankah pekerjaan yang paling melelahkan dan sia-sia itu adalah mengubah pasangan sesuai dengan keinginan kita?
Jika kita menemukan ketidakcocokan dan tidak suka dengan beberapa sifat atau kebiasaannya, bicaralah.
Bicarakan baik-baik.
Karena pernikahan adalah proses belajar seumur hidup. Mau tidak mau, suka tidak suka, keduanya harus tumbuh bersama. Pernikahan harus dirawat bersama-sama, bukan usaha satu pihak saja. Jika hanya satu orang saja yang berusaha mengayuh biduk pernikahan, percayalah, lama-kelamaan ia akan menjadi lelah dan patah.
Banyak Bersyukur
Rasa syukur adalah muara yang melarutkan semua gundah, rasa kesal, dan amarah.
Oase yang mampu meredam rasa letih, sedih dan sumber energi yang berlimpah.
Maka jangan heran, jika rasa syukur ini hilang, maka sebagus apapun rumah kediaman, selucu apa pun anak-anak, dan sebaik apapun pasangan, yang terlihat hanyalah kekurangannya semata.
Hilangnya rasa syukur, seperti lubang menganga di dasar kapal. Jika tak segera ditutup, cepat atau lambat, kapal akan menemui takdirnya untuk karam.
Jangan pernah kau lepaskan (Foto : Pribadi) |
Sekian dulu ya. Terima kasih sudah mampir.
Next akan saya tulis tentang periode lanjutannya.