Tampilkan postingan dengan label IndiHome Blog Competition 2022. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label IndiHome Blog Competition 2022. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 16 Juli 2022

Senyum Yang Terbit di Pulau Salawati

 

Cerpen lokalitas (Foto : Unsplash)

Jika saja Anggita tahu, ujung dari sebuah pelarian hanya akan menimbulkan luka yang baru, mungkin ia akan bertahan di kota kelahirannya. Mencoba bersabar setiap kali rintik hujan menoreh hatinya. Bukankah apa yang tidak bisa membunuhmu hanya akan menjadikanmu lebih kuat? Ia pernah membacanya, namun abai untuk mempercayainya.

Hari-hari setelah kedatangan Sadine di tanah persembunyiannya ini membuat Kepulauan Raja Ampat kehilangan pesona. Tak ada lagi langit biru terang, yang menenangkan hati. Tak ada debur ombak yang meluruhkan keluhnya. Kedatangan perempuan itu membawa gemuruh luka yang membuat jiwanya luluh lantak.

Ia hampir melupakan Dion yang meninggalkannya demi perempuan pemilik lesung pipi yang indah itu. Ia baru saja ingin melupakan masa lalunya, ketika hujan mengirim mimpi buruk itu ke tempat ini. Mengapa?

Pertanyaan itu membelenggunya. Menimbulkan nyeri yang menyesakkan. Ia menghirup udara dalam-dalam. Berharap aroma laut yang lamat-lamat tercium mampu meredakan prahara di hatinya. Pelahan tangannya membuka jendela kamar, membiarkan angin malam menguapkan keresahannya yang terasa begitu pekat akhir-akhir ini. Sepertinya ia memang harus segera pergi dari rumah ini.

Pamit meninggalkan rumah panggung Mama Latifah Salawati sudah dipikirkannya masak-masak. Selain hujan yang mulai jarang, ia merasa tak nyaman serumah dengan Yose. Terlebih setelah kedatangan Sadine. Ia lelah menghindari Yose, terutama Sadine.

Kedatangan Sadine membuat rumah kediaman Mama Latifah terasa lebih hidup dan penuh gelak canda. Ia sering mendengar suara tawa mereka, karena Sadine begitu pandai memancing tawa. Anggita tak ingin tampak aneh di mata semua orang. Ia tak ingin Mama Latifah atau  Yose tahu tentang masa lalunya. Tentang lukanya. Tentang Sadine yang telah membawa Dion pergi. Juga rasa yang baru saja tumbuh di dadanya. Itu adalah rahasianya.

 Awalnya Mama Latifah tampak keberatan, ia mulai merasa sayang pada gadis pulau Jawa  yang lembut dan pandai membawa diri itu. Namun ia cukup bijaksana untuk diam-diam memahami konflik yang terbangun antara anaknya dan Anggita sejak kedatangan Sadine.

Mama Latifah pun mengizinkan Anggita kembali ke pondok di pinggir laut dengan satu syarat, yaitu harus ada gadis setempat yang menemaninya. Beliau memilih Fatimah, sepupu Yose, untuk menemaninya.

Anggita menarik napas lega. Berbulan-bulan di Pulau Salawati membuatnya cukup akrab dengan gadis remaja yang lincah dan periang itu. Ia yakin, mereka akan baik-baik saja. Lagi pula, siapa yang berani mengganggu mereka berdua? Mama Latifah sudah mewanti-wanti penduduk setempat untuk menjaga dan menghormatinya. Selama ini, sebagai tetua kampung, suara Mama Latifah selalu didengarkan.

Yose sudah sepekan pergi mengantar Sadine ke daerah-daerah wisata di Raja Ampat. Entah apa yang dilakukan perempuan itu di sini. Ia tak ingin tahu. Apalagi pekerjaannya sebagai peneliti hutan  mangrove cukup menyita waktunya. 

Biasanya ia dan Yose bersama-sama memberikan penyuluhan ke masyarakat setempat tentang pentingnya menjaga kearifan lokal. Bersampan menyusuri Sungai Doktor yang panjang dan menyapa hangat penduduk yang tengah berendam di sungai. Mereka percaya sungai itu mampu menyembuhkan berbagai penyakit. Lalu mengagumi ikan-ikan pelangi yang berlenggang-lenggok manja memantulkan keindahan warna sisiknya.

Tak jarang ia ikut menanam pohon sagu muda setelah kaum lelaki menebang 2-3 batang pohon untuk membuat sagu yang menjadi makanan pokok penduduk setempat. Warisan leluhur yang dijaga baik-baik oleh penduduk setempat dengan keterlibatan aktif Yose sebagai penerus kepemimpinan adat di Pulau Salawati.

Itu juga yang menjadi salah satu sebab pemuda itu mendukung kegiatannya untuk melakukan penelitian hutan mangrove di tanah yang begitu dicintainya. Semakin mengenal Yose, rasa kagum pada sosok tegap berkulit tegap itu semakin besar. Terlebih, pemuda itu pun mampu menghadirkan rasa nyaman saat bersama. 

*

Melindungi hutan mangrove, melindungi ekosistem (Foto : Pixabay)


Menjaga kelestarian hutan bakau artinya melindungi kelangsungan hidup masyarakat. Selain untuk melindungi ekosistem laut, terutama terumbu karang, yang menjadi salah satu daya tarik wisata di Pulau Salawati, juga bisa dimanfaatkan untuk beternak udang, ikan. Pohon bakau bahkan berguna untuk pengobatan seperti diare, sakit gigi, diabetes dan lain-lain. Anggita mempelajarinya dari internet.

 Ia tak akan bisa memberikan informasi semacam itu jika ia tak melakukan riset terlebih dahulu. Manfaat internet memang sangat terasa, bahkan saat berada jauh dari keramaian.

Ia merasa bersyukur, meski jauh dari ibukota, jaringan Telkom Indonesia sangat membantu ketika ia harus mengirim laporan-laporan ke kantor pusat di Bogor. Keberadaan IndiHome, sebagai Internetnya Indonesia, dengan jaringan kabelnya yang menjangkau hingga tanah Papua menghilangkan kendala-kendala komunikasi. Apalagi IndiHome selalu mengadakan perbaikan ratio dengan meningkatkan kecepatan transfer data efektif dan menurunkan ratio penundaan data yang terkirim, sehingga berselancar di internet menjadi lebih cepat dan stabil. Kesibukannya itu membuatnya sedikit melupakan masalah yang akhir-akhir ini membuatnya merasa tak nyaman. 

Proses pengolahan batang sagu menjadi tepung siap olah (Foto : Youtube)

 

Seharian ini ia habiskan untuk mengikuti acara pesta sagu. Jika ada Yose, tentu pemuda itu dengan senang hati turun tangan membantu. Dari proses menebang pohon sagu, lalu memarut dan memeras serbuk sagu hingga airnya mengendap dan menjadi adonan tepung sagu. Hati Anggita menghangat mengingat Yose. Seperti biasa ia bertugas membantu di dapur bersama para ibu dan gadis.

Mereka  mengolah sagu menjadi semacam bubur, lalu dihidangkan dengan kuah kuning yang dimasak bersama  udang dan ikan hasil tangkapan kaum laki-laki. Mereka menyebutnya Papeda. Hidangan yang sungguh lezat. Saat ditawari cemilan favorit berupa ulat sagu, Anggita dengan sopan menolak cemilan yang konon rasanya lezat, seperti susu.

Langit tengah berpesta cahaya saat tubuh letihnya akhirnya berhasil menaiki anak tangga terakhir. Ia mengira akan menjumpai Fatimah lengkap dengan pisang rebus atau sagu bakar dengan lauk ikan yang sedap.  Namun kali ini ia salah.

“Sampai kapan kamu ingin menghindariku?”

Yose. Lelaki itu tidak  menatapnya, melainkan menatap jauh ke tengah lautan. Bayang-bayang hutan mangrove mulai tampak gelap. Sementara laut dengan suka cita bermandikan cahaya. Pelan dan syahdu, bola raksasa berwarna jingga itu pun menghilang.

“Kamu... bertanya sama siapa?” Anggita tergagap. Menyesal mengeluarkan pertanyaan sebodoh itu.

“Kamu pikir aku bertanya pada siapa lagi?” Suara Yose terdengar jengkel. Tak pernah Anggita mendengar Yose sejengkel ini. Ia pun mencoba membela diri.

“Aku nggak menghindari kamu. Kamu tahu kan, aku sibuk. Lagi pula, kamu juga sibuk dengan temanmu itu. Aku tak ingin mengganggu kalian.” Terdengar suara dengusan Yose. Anggita pura-pura tak mendengarnya.

“Ok. Sudah malam. Aku mau istirahat dulu.”

“Dengar, Anggita, tak ada hubungan apa-apa antara aku dengan Sadine, atau dengan perempuan mana pun. Kuharap kamu tahu itu.” Suara Yose terdengar dalam. Anggita terpaku. Sejenak ada perasaan lembut yang merayapi hatinya. Namun, ia segera menepisnya. Ia sudah pernah terluka sekali. Ia tak ingin terluka untuk keduakalinya. Sungguh tak ingin.

Matahari telah betul-betul sempurna terbenam. Bintang gemintang bertaburan di atas langit Pulau Cenderawasih. Anggita menghembuskan napas panjang.

“Aku sudah lelah, Yos. Aku ingin istirahat.” Ia mengusir Yose secara halus. Pertemuan kali ini di luar rencananya. Untunglah Fatimah segera datang, dan menyelamatkannya dari situasi yang serba tak nyaman.

*

Hari-hari selanjutnya adalah hari-hari yang padat. Tak seperti biasa, setelah Yose kembali, ia memilih untuk  sibuk berkutat dengan berbagai laporan kegiatan dan konfrensi jarak jauh. Atau pun, sekadar menyapa dan becanda dengan rekan-rekan kantornya, seolah jarak terlipat ribuan kilo dengan adanya fasilitas internet cepat dari  IndiHome. Ia melakukan apa saja agar tidak bertemu dengan lelaki itu.

Hari sudah beranjak petang. Matanya sudah amat lelah menatap layar laptop. Ia memalingkan wajah ke arah jendela yang  terbuka lebar. Sejak tinggal di pondok di tepi laut ini, ia selalu melakukan itu. Selain bebas memandang laut yang dipagari pohon-pohon mangrove, juga agar angin laut yang membawa aroma mangrove bisa bebas masuk. Ia menyukai perpaduan aroma asin air laut dan pohon mangrove yang banyak tumbuh di Pulau Salawati ini.

Perlahan ia bangkit dan melangkah keluar dari pondok. Suasana begitu sepi, agaknya Fatimah belum kembali dari menengok ibunya. Tiba-tiba matanya terpaku menatap lelaki yang tengah duduk diam di bibir teras. Lelaki berkulit gelap itu bergeming saat Anggita memutuskan untuk mendekati dan duduk di sebelahnya.

“Aku sudah tahu semuanya.” Lelaki itu tiba-tiba berpaling dan menatap Anggita dalam-dalam. Anggita tersentak. “Apa yang kamu tahu?” Ia berusaha membuang rasa jengah yang menyeruak tiba-tiba.

“Aku tahu tentang pelarianmu ke tanah ini. Aku tahu apa yang terjadi antara kamu, Sadine, ... Dan Dion.”

Wajah Anggita memerah. Ia tak menyangka Yose akan  menyelidiki kehidupan masa lalunya.

“Aku memaksa Sadine bercerita pada saat mengantarnya pulang.”

“Kamu...?” Suara Anggita bergetar menahan kecamuk rasa yang membuncah di dadanya.

“Sadine mengatakan bahwa ia tak pernah berniat menghancurkan rumah tangga kalian. Dion memang memang terobsesi padanya. Tapi ia tak pernah mencintai Dion. Ia tak ingin ...”

“Sudah, Yose! Cukup. Aku tak ingin lagi mendengar penjelasanmu tentang perasaan Sadine pada Dion. Atau perasaan Dion pada Sadine. Aku sudah cukup terluka, tidakkah kamu tahu itu?” Anggita memalingkan wajahnya. Menahan air mata agar tak tumpah di hadapan Yose. Ia tak ingin terlihat lemah dan bodoh.

“Anggita... Maaf.” Yose menghela napas. Matanya kembali menatap laut, mencari kata-kata yang tepat untuk diucapkan. “Aku tak bermaksud membuatmu kembali terluka. Aku tak ingin kamu terluka. Jika mungkin,... selamanya.”

Anggita terdiam. Menekan dalam-dalam desir lembut yang membuat wajahnya merona.

“Aku mencintaimu, Anggita.”

“Tapi... kondisiku tak sesederhana yang kamu pikirkan. Aku...”

“Mama sudah tahu, jika itu yang kamu pikirkan.”potong Yose cepat. “Dan aku menunggumu, kapan pun kamu siap meninggalkan masa lalumu.”

Anggita menatap lelaki di sampingnya. Bola mata indahnya menakar kesungguhan di raut kukuh lelaki yang diam-diam mencuri hatinya itu. Yose membalas tatapannya dengan tatapan yang membuat Anggita ingin membenamkan diri di kedalamannya.

Debur ombak  yang pecah di batu-batu karang memantulkan deburan indah di dadanya. Anggita tahu, sudah saatnya ia melangkah keluar dari bayangan masa lalu. Seulas senyum indah terbit di wajahnya, berlatar lautan yang disepuh cahaya jingga keemasan. 

Tamat.

 

(Baca juga : Di Ujung Kemarau ya, saya menulis alasan Anggita pergi ke Pulau Salawati di sana. Cerpen itu pernah dimuat di Majalah Femina)

 

 

 

Selasa, 12 Juli 2022

Bisnis Kuliner Online, Solusi Tepat di Masa Sulit

 

Bisnis kuliner online perlu jaringan internet yang kuat (Foto : Fixabay)

Tak ada yang betul-betul buruk sebetulnya dalam kehidupan ini. Bahkan pada titik terburuk pun, selalu terselip banyak hikmah dan kebaikan di dalamnya. Kita, hanya, seringkali tidak menyadarinya.

Dua tahun lalu, contohnya, saat wabah Corona menerjang, kondisi keuangan keluarga kami terkoreksi besar-besaran. Kondisi itu bertambah buruk saat anak kedua saya sakit, lalu pergi untuk selamanya. Saya terpukul, pastinya. Tak ada seorang ibu pun yang sanggup ditinggal buah hati yang mendiami puncak hatinya. Anak,  sekaligus sahabat dan harapan di masa depan.

Saya merasa patah hati sejadi-jadinya. Jika bisa berkubang dalam kesedihan, maka itulah yang akan saya lakukan sepanjang hari. Namun, itu sungguh tak adil bagi anak-anak yang lainnya. Bukankah mereka pun sama berharganya? Dan mereka membutuhkan ibu yang sehat dan bahagia. Mau tidak mau, saya harus menyingkirkan air mata di hadapan mereka. Sungguh, itu bukanlah hal yang mudah.

Konon kesibukan seringkali efektif untuk membunuh kesedihan, dan, itulah yang kemudian saya lakukan. Saya harus keluar dari kesedihan sesegera mungkin. Demi kesehatan, demi anak-anak...

Dapur MomaLiza dan Peran Komunitas
Foto cantik dari customer Dapur MomaLiza (Foto : Teh Icha)

Aktivitas apa yang bisa menyibukkan saya di saat PPKM tengah diberlakukan dengan ketat? Ide itu muncul di tengah kondisi yang serba tidak pasti. Namun bukankah peluang itu harus diciptakan? 

Kondisi pandemi yang membuat sebagian orang takut keluar rumah, justru menjadi peluang bisnis bagi saya. Alih-alih berdiam diri di rumah dan terus bersedih hati, saya memilih berbelanja ke pasar untuk mewujudkan ide dengan memulai usaha kuliner. (Ssst, ada yang bilang jika ingin membuka usaha, carilah usaha yang menyangkut kebutuhan hidup sehari-hari, dan saya memutuskan untuk mencoba bisnis kuliner).

Melalui jejaring sosial Facebook, saya menawarkan produk pertama Dapur MomaLiza : Paru Ungkep dengan varian rasa original dan pedas.

Produk pertama Dapur MomaLiza ini mendapat sambutan hangat dari teman-teman Facebook, terutama teman-teman penulis. (Thanks a lot, Guys... ) Dukungan komunitas penulis ini, jujur saja, menjadi bagian penting dalam perjalanan bisnis kuliner saya.

Saya tidak hanya mendapat customer loyal, namun juga mendapatkan promosi-promosi gratis yang mengenalkan produk Dapur MomaLiza ke lingkungan yang lebih luas. (Sekali lagi, terima kasih banyak..., tanpa kalian tak terbayang, bagaimana caranya berdiri tegak di masa sulit).

Dengan dukungan penuh teman-teman penulis, pelan-pelan Dapur MomaLiza mulai menambah varian menu : Paru Aceh, Ayam/Bebek Rica-rica, Ayam/Bebek Ungkep, Sambal Goreng Ati, Beef Teriyaki, dan Goreng Garem menjadi menu yang bisa pesan kapan saja.

Produk Dapur MomaLiza (Foto : Darwan)


Oya, bukan tanpa alasan,  jika saya lebih memilih menu-menu khas daerah. Selain karena rasanya yang kuat dengan rempah-rempah alami, menu-menu tersebut memiliki cita rasa yang khas. Hanya mengandalkan bumbu alami saja,   tanpa tambahan MSG buatan, rasanya sudah sedap.

Untuk menjaga kualitas rasa, saya hanya menggunakan bumbu-bumbu dapur yang segar. Juga bahan-bahan terbaik. Saya tidak pernah main-main soal ini. Contohnya saat membuat Goreng Garem, saya menggunakan minyak goreng yang selalu baru dengan kualitas yang bagus. Saya juga tidak memakai minyak goreng berulang kali, meski sama-sama menggoreng bawang.

Bukan apa-apa. Saya hanya merasa itu hak customer untuk mendapatkan produk terbaik. Tak adil rasanya jika menggunakan minyak bekas untuk menggoreng bawang, padahal mereka membayar dengan harga yang sama.

Goreng Garem by Dapur Momaliza sudah jalan-jalan di Jerman loh (Foto : Pribadi)

Ada satu rahasia kecil yang agaknya perlu saya bagi di sini. Ada yang mau tahu? Atau, mau tahu banget? Hehehe... Ok. Meski nggak ada yang mau tahu, saya tetap mau berbagi kok. Biar nggak jadi rahasia lagi dan bisa diambil hikmahnya.

Bakat atau Kepepet ?

Sejujurnya saya nggak punya bakat memasak. Teman-teman yang kenal saya sejak jaman kuliah pasti tahu banget kedudulan saya di dunia masak. Tapi, ya, saya beruntung punya Mamah yang pintar masak. Meski sering diusir dari dapur (supaya rajin belajar), sedikit-sedikit saya paham tehnik memasak. Mamah pun sering memberi tips masak, meski saya tak tertarik untuk memasak.

Kebisaan saya memasak sebetulnya berkat bantuan internet. Serius lho. Belajar masak  juga dari Youtube. Sesekali –jika lagi rajin-- mencoba resep-resep yang berhamburan di internet. Asalkan mau mencoba, kita bisa memasak menu apa saja. Saya mencoba dari resep-resep yang mudah dan simpel, hingga akhirnya menemukan resep yang pas di lidah keluarga. Jadi, manfaat internet itu terasa banget bagi saya yang sama sekali tidak memiliki ilmu memasak ketika memasuki dunia rumah tangga.

Bayangkanlah, dulu, bagaimana tersiksanya suami saya menghabiskan masakan buatan istrinya yang nggak jelas, sebelum kehadiran IndiHome, Internetnya Indonesia ini. Maksud hati masak semur daging, yang ada rasanya asin, atau masak gulai tapi jadinya aneh. Ya semacam itulah. Bahkan, bapak saya sendiri trauma dan menolak menu kesukaannya setelah mencicipi masakan buatan saya. Hiks. Saking payahnya saya memasak.

Patut disyukuri memang kehadiran IndiHome, yang menjadi salah satu produk dari Telkom Indonesia ini. Internetnya Indonesia dengan jaringan kabelnya yang stabil dan mantap, memudahkan penggunanya mencari berbagai informasi yang dibutuhkan untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan diri saat menghadapi masa-masa sulit penuh tekanan. Mengubah situasi kepepet menjadi duit. Aih, sedap kan?

Jadi, tak bisa memasak bukan berarti tak bisa membangun bisnis kuliner lho. Manfaatkan saja berbagai fasilitas yang ada. Termasuk internet dan jaringan pertemanan di media sosial. Jangan hanya terjebak di mom war-mom war yang tak kunjung selesai. Hidup terlalu berharga untuk dihabiskan dalam perdebatan.

Lebih baik gunakan waktu untuk terus mencari strategi bisnis, syukur-syukur bisa merambah hingga ke mancanegara. Dream banget kan ini?


 

Sabtu, 09 Juli 2022

Disleksia Bukanlah Kekurangan, Melainkan Anugerah

 

Anak disleksia itu biasanya kreatif dan pantang menyerah (Foto Fixabay)

Setiap anak itu unik. Betapa saya sangat memahami kalimat ini. Menjadi ibu dari 7 orang anak,di mana, tak satu pun di antara mereka memiliki kesamaan, baik secara fisik, hobi maupun kebiasaan, mau tidak mau membuat saya terus belajar.

Mereka lahir dan tumbuh dengan keunikannya masing-masing. Membawa cerita yang tak sama, meski terlahir dari rahim yang sama. Meski darah yang mengaliri mereka berasal dari darah yang sama. Mereka betul-betul berbeda.

Salah satu yang paling unik di antaranya adalah Zidna.

Awal menyadari kehadirannya bersemayam dalam rahim saja sudah membuat saya terkejut setengah mati. Karena kakaknya, anak ke-5, baru berusia 10 bulan ketika itu, dan saya sama sekali belum menstruasi sejak melahirkannya.

Cacar di Trisemester Pertama

Belum lewat rasa kaget saya, pada trimester pertama kehamilan, wabah cacar menyerang anak-anak. Semua kena, termasuk saya, hanya suami yang tidak. Dokter menyarankan agar memperbanyak doa. Karena trisemester pertama kehamilan merupakan masa paling penting dalam pembentukan organ vital. Termasuk panca indera. Rasanya itulah pertama kali saya mengalami rasa sedih yang begitu dalam selama menjalani masa-masa kehamilan. Sedih membayangkan seperti apa anak yang akan lahir 8 bulan kemudian.

Maka begitu Zidna lahir dengan kondisi yang sehat sempurna dan cantik --matanya betul-betul indah, besar dan cemerlang-- saya banyak-banyak bersyukur. Begitu juga ketika saya cek fungsi pendengaran, Alhamdulillah, baik-baik saja. Syukur tak sudah-sudah.

Baby Zidna tumbuh sehat, meski pun sempat ada drama keracunan ASI pada bulan-bulan pertama kelahirannya. 

Keracunan ASI

Jadi ceritanya, saat itu tubuh baby Zidna menguning sekuning-kuningnya. Dari bola mata, lidah dan seluruh tubuhnya. Meski sering dijemur, dan diberi ASI. Dan berbeda dengan anak lainnya yang jumlah bilirubinnya tinggi, ia bayi yang aktif dan lincah. Karena bingung, saya berkonsultasi ke dokter langganan.

Dokter menyarankan untuk menghentikan pemberian ASI. Aneh kan? Saya terkejut, banget! Jika bagi bayi yang lain ASI menjadi sumber nutrisi terbaik, tapi bagi baby Zidna, ASI bisa membunuhnya.  

Kami tentu saja tak menerima begitu saja saran dokter. Dengan menggunakan internet, kami akhirnya menemukan informasi yang mendukung saran dokter. Rasanya ingin tak percaya, tapi kok nyata?

Selesai drama ASI, Zidna tumbuh lincah dan pemberani. Meski baru bisa berjalan, ia sudah bisa naik tangga sendiri. Menghampiri ibunya yang tengah asyik menjemur baju. Mules rasanya setiap kali membayangkan kejadian itu. Sampai-sampai saya tidak berani meninggalkan Zidna sendiri di bawah jika saya sedang di lantai atas.Nekat anaknya, padahal belum genap 2 tahun usianya.

Rasa ingin tahunya pun besar. Itu mungkin yang membuatnya suka membongkar mainan kakaknya dan menimbulkan keributan. Bayangkan kehebohan yang ditimbulkan para balita itu. Siapa yang suka jika mobil-mobilan kesayangan dibongkar? Sedangkan yang membongkar sama-sekali tak merasa bersalah. (Emaknya tarik napas panjang sekali 😅)

Anehnya Zidna tidak pernah mau diajari bicara. Setiap kali menginginkan sesuatu, ia hanya menunjuk ke arah benda yang dimaksud. Atau menarik tangan ibunya agar bergerak ke arah yang diinginkan. Jika ibu dan kakaknya mengajarinya mengucapkan suatu kata, ia marah dan tak suka.

Harusnya sebagai seorang ibu yang baik, saya merasa cemas dan bergegas ke klinik tumbuh kembang. Sayangnya saya bukan ibu yang baik. Hiks. Saya merasa cukup tenang saat ia bisa mengucapkan kata : "Bapak" dan "Ibu" dengan baik. Selama bisa mengucapkan huruf konsonan, maka ia tidak bermasalah. Begitu anggapan saya.

Zidna kecil, lucu dan menggemaskan (Koleksi Pribadi)

Sudahlah Delay Speech, Disleksia Pula

Bukan tanpa alasan sih, karena salah satu kakak Zidna juga delay speech, baru bisa bicara lancar (hingga akhirnya cerewet) ketika naik kelas 2 SD, dan pernah mengikuti terapi wicara. Saya cukup pede dengan pengalaman kakaknya itu, bahwa Zidna kelak akan bisa bicara lancar seperti saudara-saudaranya.

Dan itu benar, menjelang masuk SD Zidna sudah secerewet  kakak-kakaknya. Hanya bedanya, ia tidak mau belajar membaca. Jangankan membaca, menyanyikan lagu ABC (sambil melihat huruf-huruf) saja, dia menolak. Apa pun akan dilakukannya dengan senang hati, kecuali belajar membaca.

Semula saya pikir, mengajari anak perempuan membaca tidak lebih sulit dari mengajari kakaknya yang juga delay speech, ternyata saya salah. Bergonta-ganti guru les baca tak membuat Zidna bisa dan mau belajar membaca. Berbagai iming-iming hadiah dan ancaman juga tak membuatnya tergerak untuk belajar membaca.

Hingga akhirnya kami menyadari Zidna ternyata disleksia. Ia mengeluh pusing dan bingung setiap kali melihat huruf-huruf. Ia memang sangat kreatif, tekun, rapi dan menyukai motif-motif rumit di buku mewarnai, namun ia membenci huruf-huruf dan angka-angka.

Hasil mewarnai Zidna, ia suka pola yang rumit (Foto : Pribadi)

Saya dan suami kemudian sibuk mencari informasi tentang disleksia. Mengakses banyak video tentang disleksia di Youtube. Ini tidak terlalu sulit jika menggunakan Internetnya Indonesia, IndiHome, yang selalu meningkatkan kualitas layanannya. Sebagai produk dari Telkom Indonesia, yang terus melakukan perbaikan rasio yang meningkatkan kecepatan proses transfer data serta menurunkan rasio hambatan data yang diterima, sehingga memudahkan kami mencari berbagai informasi yang dibutuhkan dengan cepat, karena jaringan internet yang stabil dan lancar. 

Manfaat internet yang  juga terasa sangat membantu, saat mencari metoda belajar yang cocok untuk anak disleksia. Dengan kemudahan berinternet, kami bisa mencari video-video pembelajaran mudah dan tepat. Salah satu metoda yang sering kami gunakan adalah dengan membuat kartu-kartu bergambar. Untuk membantu melekatkan huruf-huruf dalam ingatan Zidna. 

Kartu-kartu bergambar buatan bapaknya Zidna (Koleksi Pribadi)

Metoda belajar memadukan gambar dan suku kata (Foto : Nurhayati Pujiastuti)

Selain itu, saya juga banyak berkonsultasi dengan teman-teman yang berprofesi sebagai psikolog dan pemerhati pendidikan juga penulis yang terlibat langsung dengan pendidikan anak usia dini, Bunda Nurhayati Pujiastuti.Tak terbayangkan jika saat ini tak ada jaringan internet yang membantu kami untuk lebih memahami kondisi Zidna.

Banyak tips dan materi yang saya peroleh dari beliau bagaimana cara mengajari anak disleksia. Salah satu quote yang paling menarik adalah, “Jangan hanya mengajari anak agar bisa membaca, namun ajari anak agar cinta membaca.”

Mengajari Zidna membaca masih menjadi PR bagi kami. Namun, saya optimis, Zidna pasti bisa membaca. Hanya harus memperpanjang sabar, dan terus pantang menyerah mengulang-ulang memasukkan huruf demi huruf ke dalam bilik kelabu otaknya. Saya yakin Zidna tidak bodoh. Ia hanya perlu dibantu agar tak tersesat di belantara huruf-huruf yang membingungkan dan mengintimidasi.

Seperti ujar seorang teman penulis, yang pernah mengalami disleksia dan menjadi sarjana hukum dari universitas ternama, disleksia itu bukan kekurangan, melainkan suatu anugerah. 

Sungguh, ini PR yang luar biasa bagi kami. Semoga Allah memampukan kami mendidik dan mengantarkan Zidna menjadi anugerah bagi orang-orang di sekelilingnya, juga bagi kehidupan yang lebih luas. Aamiin....

Referensi :https://www.cnbcindonesia.com/tech/20220420142028-37-333214/cek-deh-ini-sederet-inovasi-indihome-demi-internet-ngebut

Museum Geologi Bandung, Wisata Edukasi Murah Meriah

Museum Geologi Bandung, wisata edukasi murah meriah (dok.pri) Liburan  paling asyik jika diisi dengan acara jalan-jalan bareng keluarga. Ngg...