Inspirasi cerpen ini berasal dari cerita putri sulung saya, Karimna,
tentang salah seorang temannya yang senang sekali berada di
perpustakaan. Bukan untuk membaca. Tapi untuk menarik perhatian karyawan
perpustakaan.
Lalu,
Sebuah kenangan. Tentang sepasang mata yang berbinar. Bukankah kenangan tak pernah mati?
KARIN
Oleh : Liza P Arjanto
Karin
menatap sahabatnya, Rara, dengan pandangan heran. Tidak biasanya Rara bersikap
seaneh ini. Bayangkan saja, hampir setiap usai jam sekolah ia menolak langsung
pulang sebagaimana biasanya. Ia malah memilih menghabiskan waktu berlama-lama
di perpustakaan.
Ini sungguh
tak biasa. Sejak kapan anak itu tiba-tiba doyan membaca. Setahu Karin, Rara
tidak suka membaca. Perpustakaan selalu menjadi tempat terakhir yang dikunjunginya.
Itu pun hanya bila ada tugas yang
mengharuskannya mencari informasi di perpustakaan.
“Rin, kamu
pernah melihat karyawan perpustakaan yang baru?” tanya Rara.
“Mas
Didit?” Karin menjawab acuh.
“Iiih,
bukan ... Mas Didit sih cuma
bantu-bantu. “ Rara membisiki telinga Karin. Dan menyebutkan sebuah nama. “
Pernah liat orangnya?” tanya Rara kemudian. Melihat Karin menggeleng, Rara
tersenyum puas. “Makanya, nanti pulang sekolah temenin aku ke perpustakaan.”
Penasaran
dengan perubahan sikap Rara, Karin pun memutuskan untuk mengunjungi
perpustakaan. Sejujurnya, Karin bosan berada di perpustakaan sekolahnya. Karena
hampir semua koleksi novel yang dimiliki perpustakaan sudah dibacanya sejak ia
berada di kelas X. Dan selama dua tahun ia berada di sekolahnya ini, koleksi
buku novelnya tak juga bertambah.
Entah
mengapa, sepertinya pihak sekolah tak menganggap penting keberadaan buku-buku
fiksi di antara koleksi buku-buku paket yang membosankan itu. Padahal menurut
Karin, seharusnya sekolah menyediakan buku-buku fiksi yang keren, sehingga
siswa tertarik untuk datang dan menghidupkan perpustakaan. Apalagi di sekolah swasta favorit seperti ini.
Tapi
rupanya, Rara tidak membutuhkan koleksi novel-novel keren untuk tertarik
mengunjungi perpustakaan. Daya tarik perpustakaan bagi Rara ternyata berupa
sosok karyawan perpustakaan yang baru bekerja belum genap sebulan di
perpustakaan ini.
Ternyata
bukan hanya Rara. Karin terheran-heran melihat perpustakaan yang biasanya sunyi
senyap dan berdebu, menjadi ramai. Beberapa siswi tampak berkelompok-kelompok
memenuhi bangku-bangku yang sudah disediakan. Tidak ada yang serius membaca. Kebanyakan
hanya cekikikan dengan mata jelalatan ke sana kemari.
Hampir saja
Karin mengira kantin berpindah tempat. Langkah kakinya melambat, jika saja Rara
tidak menarik tangannya, ia memilih berlalu dari ruangan tersebut. Ia tak
pernah nyaman menjadi pusat perhatian.
“Ayo,
jangan perhatikan mereka,” bisik Rara. Karin mengikuti langkah Rara dengan
ragu. Berusaha mengabaikan tatapan mata yang melihat ke arahnya dengan penuh
perhatian. Rara mengajaknya berjalan menuju rak buku-buku fiksi.
Mata Karin
membulat ketika ia menemukan novel-novel baru di antara koleksi lama yang kusam
dan lusuh. Tanpa sengaja matanya menemukan sebuah buku yang familiar
baginya. K. Maharani. Wajahnya tersenyum
penuh rasa heran. Namun sejumlah koleksi novel terbaru yang ditemukannya
berhasil mengalihkan perhatiannya. Rara memperhatikan
Karin yang seolah tenggelam dalam dunianya. Lalu melangkah meninggalkan Karin.
Karin
memutuskan memilih dua dari lima buah novel yang begitu menarik perhatiannya.
Ia tak menyadari sepasang mata di balik bingkai yang memperhatikannya sejak ia
melangkah memasuki ruang perpustakaan.
Sepasang
mata itu pula yang kini membuat Karin terpana. Dengan gugup ia menyodorkan dua
buah buku yang telah dipilihnya dengan susah payah. Sebuah novel klasik karya
Alexander Dumas, The Count of Monte Cristo dan sebuah novel menarik karya
penulis lokal yang tengah naik daun.
Karyawan
baru itu seperti hendak mengucapkan sesuatu ketika Karin dengan terburu-buru
melangkah meninggalkannya. Matanya mencari-cari sosok Rara. Dilihatnya Rara
tengah sibuk membolak-balik majalah tanpa minat.
Senyum Rara
mengembang ketika melihat Karin duduk di sebelahnya dengan wajah merah. “Gimana, ganteng kan?” bisiknya. Karin
mengangguk kaku. Rara terkekeh pelahan, ia tak menyadari wajah Karin yang
berubah-ubah. Dan dengan heran mengikuti langkah Karin yang bergegas
meninggalkan ruang perpustakaan.
Keesokan
harinya, ketika Rara mengajak Karin mengunjungi perpustakaan, dengan tegas
Karin menolak. Begitu juga ketika waktu peminjaman buku telah tiba. Karin malah
meminta tolong Rara untuk mengembalikan
buku-buku tersebut.
“ Mengapa,
Rin? Kok kayaknya alergi banget ke perpustakaan? “ tanya Rara heran. Padahal
sebelumnya Karin tertarik pada koleksi-koleksi baru perpustakaan. Itu terlihat
jelas ketika Karin kebingungan memilih koleksi yang akan dibawanya ke rumah.
Diliriknya Karin yang
terdiam. Tiba-tiba Rara menyadari, Karin
jauh lebih pendiam daripada sebelum ia mengunjungi perpustakaan tempo hari. Rara
pun teringat, wajah Karin yang selalu berubah setiap kali ia menceritakan
tentang Pak Yosep, karyawan perpustakaan baru yang berwajah mirip Reza Rahardian itu.
Ia bahkan tak
tertarik untuk mendengarkan cerita Rara. Ini mengherankan. Hampir seluruh teman-teman cewek di sekolahnya selalu
mencari cara untuk menarik perhatian sosok yang mirip aktor yang selalu mendapat
pujian para kritikus film itu. Tapi tidak dengan Karin.
Karin menyadari kebingungan Rara. Tapi ia sendiri tidak
dapat mempercayai penglihatannya. Ia sungguh tak menyangka akan bertemu lagi
dengannya. Tidak di sekolah ini.
@
Sekolah sudah sepi
ketika Karin melangkah keluar kelas. Rara yang semula tak terlihat tiba-tiba
muncul entah dari mana.
“Ayo, temani aku ke kantin. “ ajaknya kemudian. Tanpa
menunggu persetujuan Karin, Rara menarik tangannya menuju kantin. Semula Karin
ingin menolak. Tapi wajah Rara yang penuh rahasia membuatnya mengalah.
Bukankah selama ini,
Rara selalu berbaik hati menemaninya. Rara juga tak pernah keberatan setiapkali
keterbatasan tubuhnya membuat Rara menjadi lebih repot dari pada yang
seharusnya.
Suasana kantin pun sepi. Hanya ada satu beberapa aktivis
OSIS yang tengah mendiskusikan sesuatu. Rara mengajaknya duduk di pojok kantin
dan memesan minuman. Ada tiga gelas jus yang dibawa Rara.
Jus alpukat pastilah untuk Karin. Karin tersenyum, rupanya Rara memesan jus
kesukaannya. Jus tomat itu pastilah
untuk Rara. Ia menggemari segala macam jenis jus. Tapiiii, untuk
siapakan jus jeruk itu? Karin masih menebak-nebak ketika sebuah suara hangat
menyapanya.
“Apa kabar, Karin?”
Deja Vu.
Suara itu mengingatkan Karin pada sebuah suara yang begitu
akrab di telinganya. Bertahun-tahun yang lalu. Ketika itu ia baru saja membuka
mata. Suara dan wajah penuh sesal itu adalah hal yang pertama masuk ke dalam
memorinya. Kemudian setelah itu ia jatuh pingsang berulang kali setelah setelah
mendapati kenyataan pahit yang dihadapinya.
Kecelakaan itu menjadi mimpi buruk yang menghantui Karin
sepanjang hidupnya. Ia tak bisa melupakan peristiwa tabrakan yang hampir
merengut nyawanya. Ia masih mengingat dengan jelas, pemuda itu melaju dengan
cepat dan menabrak motor yang dikendarainya dengan pelan. Tabrakan itu tak
terhindarkan. Dan itu menjadi salah satu hal yang paling disesalinya. Ah, andai
saja boleh memilih, Karin tentu memilih kehilangan nyawa daripada kehilangan
sebelah kakinya.
Indahnya masa remaja tiba-tiba tercerabut begitu saja. Ia
kehilangan seluruh kegembiraan dan mimpi-mimpinya. Keinginannya untuk
memperkenalkan budaya Indonesia ke mancanegara lewat seni tari, buyar seketika.
Ia tidak akan pernah bisa melenggang-lenggok membawakan tari
Jaipong dengan iringan karawitan. Tidak ada lagi panggung-panggung untuknya.
Tidak ada lagi tepuk tangan membahana setiapkali ia menghentak panggung dengan
gerakan-gerakan gemulainya yang menyatu dengan tembang-tambang lagu Parahyangan.
Berbulan-bulan ia tenggelam dalam penyesalan panjang. Ia
membenci siapapun. Termasuk dirinya. Namun kebenciannya pada pemuda itu jauh
lebih hebat dan lebih dalam. Ia selalu
menjerit setiapkali pemuda itu menghampirinya. Pemuda itu adalah mimpi buruknya.
Mimpi buruk yang selalu mengikuti kemana pun ia pergi.
Herannya, pemuda itu seolah tak peduli akan kebencian Karin.
Ia tak peduli caci maki yang Karin lontarkan. Ia tak ambil pusing dengan
penolakan Karin. Seperti matahari yang setia menyinari bumi. Ia selalu
berkunjung ke rumah sakit. Ia pun selalu menemani Karin sepulang dari rumah
sakit.
Pemuda itu tidak saja membujuk Karin belajar berjalan dengan
menggunakan kaki palsu dan kruk penyangga tubuh, ia membantu Karin untuk
menemukan hobi yang baru.
“Ini tulisanmu, Karin?” tanya Kak Yosep suatu hari. Karin
terperanjat. Tiba-tiba saja wajahnya memerah. Ia menyesali keteledorannya
sehingga kertas itu tercecer di meja teras.
Sejak ia bisa berjalan dan belajar menerima takdirnya. Kak
Yosep mulai mengurangi jadual kunjungannya ke rumah Karin. Karin mengerti, Kak
Yosep harus mengejar materi kuliahnya yang terbengkalai karena selalu
menemaninya selama berbuan-bulan.
Selama berbulan-bulan itu pula Kak Yosep mengajarinya
pelajaran-pelajaran sekolahnya yang tertinggal. Karena keterbatasan fisiknya,
mama dan papa memutuskan untuk meng-home schooling-kan Karin. Kak Yosep
bersedia menjadi gurunya hingga ia lulus sekolah menengah pertama.
Hampir setahun lamanya Kak Yosep hadir dalam kehidupan
Karin. Diam-diam Karin mengagumi pemuda yang usianya terpaut lima tahun di
atasnya. Ia pun mulai memaafkan kecerobohan Yosep yang mengakibatkan sebelah
kakinya harus diamputasi. Setiapkali Kak Yosep berhalangan hadir karena
kesibukannya di kampus, Karin mengisinya dengan menulis diari ataupun di
kertas-kertas yang ia temukan.
Dan kali ini ia menyesali kecerobohannya itu. Dengan wajah
merah padam, ia merebut kertas berisi curahan hatinya itu.
“Tulisanmu bagus sekali, Karin. Sepertinya kamu memiliki
bakat menulis.” Kak Yosep menatapnya dengan wajah berbinar. Sesaat Karin
terpana.
“Sungguh, Kak? “ tanyanya kemudian.
Kak Yosep mengangguk meyakinkan. “Cobalah menulis sebuah
cerpen. Kak Yosep ingin tahu, bagaimana caramu menulis.”
Sejak saat itu Karin mulai serius mempelajari cara menulis
yang baik. Kak Yosep membantunya dengan menyediakan majalah-majalah yang bisa
dipelajarinya. Dan semua upayanya itu membuahkan hasil. Suatu hari, sebuah
majalah remaja menghubunginya dan menyatakan naskah cerpennya layak untuk
dimuat pada edisi yang akan datang.
Sepanjang hari ia menunggu kehadiran Kak Yosep. Namun, Kak
Yosep tak pernah datang mengunjunginya lagi. Tidak juga menghubunginya lewat
telepon dan selular. Pemuda itu menghilang begitu saja ketika Karin baru saja
menemukan dirinya yang baru.
“ Karin.”
Kak Yosep menggenggam tangan Karin yang dingin. Karin
membuang mukanya. Matanya mencari-cari sosok Rara. Ia ingin segera pulang. Ia
ingin menghilang dari hadapan pemuda yang pernah mengisi hatinya. Pemuda yang
tak pernah benar-benar berlalu dari hatinya.
“Maafkan, aku.”
“Tak perlu meminta maaf, Kak. Aku mengerti. Teramat
mengerti.” Ujar Karin dingin. Hatinya terasa sesak. Hampir tiga tahun lamanya
ia mencoba mengerti akan hal itu. Pengertian itu mengantarkannya pada kenyataan
yang jauh lebih pahit daripada kehilangan sebelah kakinya.
“Tugas Kak Yosep telah selesai. Aku sudah bisa menerima
takdirku dengan baik. Aku sudah tak memiliki lagi keinginan untuk bunuh diri
akibat kecelakaan sialan itu.” Suara Karin bergetar.
“Kecelakaan itu juga membuatku mengerti banyak hal. Kak
Yosep tak perlu menghawatirkan aku lagi. Aku tak akan merepotkanmu lagi.”
Karin mengangkat
wajahnya dan melihat luka di mata pemuda itu.
“Karin, maukah kamu mendengarkan ceritaku?” Suaranya
terdengar memohon.
Karin membuang wajahnya ke samping. Menekan dalam-dalam rasa
yang menggelitik hatinya. Bukankah selama ini, ia baik-baik saja. Namun mengapa
tiba-tiba ia merasa usahanya untuk melupakan pemuda itu menjadi sia-sia belaka,
sesalnya dalam hati. Ia membiarkan pemuda itu bercerita.
“Tanpa kuduga, permohonan beasiswa ke luar negri yang kuajukan, diluluskan. Aku harus mengurus
keberangkatanku secara mendadak. Aku tak sempat
memberitahumu. Semua terjadi begitu saja. Dua tahun lamanya aku berada
di Sorbone. Dan aku tak bisa melupakanmu. Namun sayang, kartu-kartu pos yang
kukirim tak pernah mendapat balasan. Begitu pun ketika aku mencoba
menghubungimu lewat email, mencari akunmu difacebook. WA. BBM. You’re losing. I
have lost contact.” Yosef memandangnya
tajam.
“Kartu-kartu pos?”
Karin mengangkat alisnya. Ia mengabaikan kalimat-kalimat selanjutnya. Karena
terlanjur kecewa, ia mengganti nomer kontaknya. Ia tak ingin berharap banyak.
Ia ingin menjadi pribadi yang baru.
“Ya. Aku mengirimimu setiap awal musim berganti.” Keningnya
berkerut. Nyaris sebuah kebiasaan, tangannya membetulkan letak kacamata yang
sudah bertengger sempurna di hidung mancungnya. Karin memperhatikan gerakan
itu. Diam-diam ia mengeluh dalam hati. Debaran dadanya tak kunjung berhenti.
“Kami pindah rumah. Papa ditugaskan di kota ini. Dan aku
memutuskan untuk memasuki SMA ini.” Karin menjawab penuh nada sesal. Tiba-tiba
ia menyadari satu hal yang aneh. “ Mengapa Kak Yosep bekerja di sini?”
Yosep tersenyum nakal. Namun buru-buru menjawab ketika
melihat mata Karin menatapnya serius.
“Sekolah ini milik
ayahku. Aku hanya bertugas membantu menarik siswa untuk menyukai perpustakaan.
Eummmh, sejauh ini sepertinya berhasil. “ Senyum di wajah berkacamata itu
tiba-tiba memudar. “Kecuali untuk menarik seorang Karin Maharani. “
Sepasang mata tajam itu memerangkap mata Karin. Deburan
indah yang dulu pernah ada, kembali menalu di hati Karin.
“Benarkah yang ada di hadapanku ini, seorang penulis remaja
yang tengah naik daun, K. Maharani?” Goda pemuda itu lagi.
Karin memukul lengan yang dulu kerap membantunya berdiri dan
menjadi penopang tubuhnya saat belajar
melangkah. Lengan itu pula yang kerap memasangkan kaki palsu itu ke tungkai
kaki kanannya yang tersisa pasca operasi. Lengan itulah, yang dulu kerap
membuat luka di kaki dan di hatinya mengering dengan cepat.
Lengan yang dulu amat dirindukannya. Karin menatap sepasang mata teduh itu.
Tiba-tiba saja ia ingin tenggelam di dalamnya.
Tamat.
Kisahnya bikin haru. Ingat bacaan dulu waktu masih remaja. 😀
BalasHapusMakasih ya udah mampir
Hapus