Menjalani hidup merupakan perjuangan tiada henti. Kita akan senantiasa
berhadapan dengan gelombang dan badai masalah yang datang silih
berganti. Ada kalanya kita bisa begitu tangguh, namun seringkali kita
pun runtuh.
Hanya dengan menggenggam keyakinan, senantiasa berpikir positif, kita
akan melewati rintangan demi rintangan. Kemustahilan demi kemustahilan.
Tersebab, Allah Maha Kaya....
BUKANKAH
ALLAH MAHA KAYA?
Oleh
: Liza P Arjanto
Siang itu begitu terik. Mamaku
mengupaskan buah-buahan untuk cucunya. Seperti biasa, dalam setiap
kunjungannya, kami kerap berbincang ringan. Membahas berbagai persoalan yang
tak ada habisnya untuk diperbincangkan. Ada saja yang bisa kami bahas. Dari
hal-hal penting sampai persoalan yang sama sekali tidak penting, namun tentu
saja itu cukup menarik untuk dibicarakan. Aku selalu menyukai kegiatan itu,
sepertinya, mamaku pun demikian.
Tiba-tiba
saja mama mengalihkan topik pembicaraan.
“ Mama mau naik haji.” Ujarnya
mengagetkanku. Aku tertegun. Kutatap wajah sederhana itu dengan perasaan campur
aduk. Sebenarnya, ini kali kesekian mama mengutarakan keinginannya. Tapi tak
pernah seserius ini.
Dulu sekali, di masa awal
pernikahannya, Mamaku sudah pernah melaksanakan ibadah haji. Ibadah yang
diwajibkan bagi setiap muslim yang mampu. Namun menurut Mama, ketika itu ia
masih terlalu muda dan ia ingin mengulangi lagi ibadah hajinya.
Sebagai anak yang baik, aku berusaha
mengimbangi keinganan mama, meskipun hanya sebatas memberi suport berupa
kata-kata. Ya, dalam hati aku beranggapan keinginan mamaku adalah hal yang
mustahil. Terlebih mengingat mama adalah tipe orang yang terlalu angkuh untuk
meminta, bahkan kepada anaknya sendiri. Tak urung aku pun bertanya dengan nada
bergurau.
“ Mama mau naik haji? Memang Mama
sudah punya tabungan berapa?” tanyaku. Sesungguhnya, itu hanyalah pertanyaan
basa-basi. Karena sepanjang pengetahuanku, mama tak pernah memiliki uang tunai
dalam jumlah besar. Emas pun hanya beberapa gram yang kini melingkar di
tangannya.
“Mama hanya punya ini...” Mama
menunjuk gelang di tangannya. Aku terkekeh geli. Mama tak tampak tersinggung. “Wah,
kurangnya masih banyak, Ma. Gimana caranya Mama mengumpulkan uang untuk naik
haji?” tanyaku. Aku tahu, mama pasti punya jawabannya.
“ Mama mau bikin kue lebaran, nanti
untungnya Mama belikan emas lagi. Nanti kalau sudah terkumpul cukup banyak ,
baru Mama jual untuk ongkos naik haji.” Suara mama terdengar optimis. Dan aku
tak kuasa menahan tawa.
“ Mama, itu masih bertahun-tahun
lagi. Entah kapan Mama bisa berangkat naik haji kalau menunggu uang Mama
cukup?”
Dalam pikiranku yang sempit, alangkah
mustahilnya seorang pembuat kue seperti mamaku, akan melaksanakan ibadah yang
memerlukan biaya besar. Apa lagi hanya mengandalkan pesanan kue kering setahun
sekali menjelang lebaran.
Sepanjang umurku, aku tahu, mama
amat mengandalkan kemampuannya membuat kue untuk memenuhi kebutuhan hidup, baik
untuk biaya makan maupun pendidikan anak-anaknya. Namun dengan bertambahnya
usia, pekerjaan itu tak lagi dapat dilakukannya seperti dahulu. Ia tak sanggup
lagi mengeluarkan banyak tenaga untuk membuat kue-kue pesanan. Fisiknya melemah
seiring bertambahnya usia dan berbagai penyakit yang mulai menyerang.
Baru-baru ini saja, mama menjalani
operasi pengangkatan payudara, karena tumor yang bersarang di payudaranya itu
sudah mencapai stadium lanjut dan harus segera diangkat. Dan pada saat yang
bersamaan, mama juga terdeteksi memiliki penyakit jantung, darah tinggi,
kolesterol dan diabet.
Lantas, bagaimana mama bisa seyakin
itu bisa mengumpulkan uang untuk ibadah
haji. Bagaimana mama bisa bercita-cita melihat Baitullah setelah semua
penyakit yang bersarang di tubuhnya menuntut ia untuk lebih banyak berdiam
diri? Bagaimana ia bisa menyimpan kerinduannya untuk mencium Hajar Aswad, untuk
berdoa di Raudah dan menatap langit di atas padang Arafah, sedang kemampuannya
amat terbatas?
Mamaku, yang kukenal jarang memiliki
keinginan, nyatanya bersikukuh dengan keinginannya yang satu ini. Ia bersikeras
untuk mengumpulkan ongkos naik haji hanya dengan membuat kue kering.
“ Tapi, Ma... Mama sudah tua. Dan
kondisi Mama tidak akan kuat bila harus mengerjakan pesanan kue kering lagi.”
Ujarku mencoba membuat mama mengerti situasi yang dihadapinya. Mama tersenyum.
“ Membuat kuenya pelan-pelan saja.
Jangan sekaligus. Pasti Mama bisa.” Mama berusaha meyakinkanku.
“ Dan itu butuh waktu lama...”
Mama menarik napas. “ Bukankah Allah
Maha Kaya? Mengapa harus bingung? Jangankan bertahun-tahun yang akan datang.
Rezeki esok hari pun kita tidak akan pernah tahu.”
Aku tersentak mendengar ucapan mama.
Aku tahu itu, batinku. Tapi keraguan meliputi hatiku. Aku membutuhkan jawaban
logis atas semua yang terjadi. Aku memerlukan kalkulasi dan perhitungan yang
masuk akal untuk menggenapkan keinginan. Bukankah, hal itu manusiawi?
Aku beranjak ke dapur dan menuang air
untuk membasahi tenggorokanku yang terasa kering. Tiba-tiba saja, kudengar telpon
selularku berbunyi. Dari kakak sulungku. Dan berita yang dikabarkannya adalah
berita yang membuat aku insyaf akan kebenaran ucapan mamaku. Kakak sulungku
mengabarkan, ia baru saja mendapat rezeki.
Dan ia mengatakan uang tersebut sudah ditransfer untuk ongkos naik haji
mama.
Allahu Akbar.
Belum lima menit berlalu. Belum sempat
air dingin dalam gelas yang menempel di bibirku, melewati tenggorokanku yang
mengering, kulihat wajah mama bercahaya. Kemudian wajah itu bersujud penuh rasa
syukur dan haru.
Ketika mengangkat wajahnya. Mama
memandangku penuh kemenangan bercampur haru yang sukar dilukiskan. Suaranya
bergetar, “ Apa kata Mama tadi, bukankah Allah Maha Kaya?”
Aku hanya bisa terdiam. Beristighfar
dalam hati, menyadari kekhilafanku. Menyadari kelemahan dan ketidakyakinanku
akan Kekuasaan Zat yang menggenggam nyawaku. Mama benar, bukankah Allah Maha
Kaya dan Dia memberi rezeki tanpa disangka-sangka pada setiap hambaNya yang
yakin. Sesuai dengan prasangka hamba kepadaNya.
Selang dua tahun kemudian, pada waktu yang
kira-kira sama, Mamaku tengah menatap langit di atas tanah yang diberkahi.
Memanjatkan do’a untuk kebaikan seluruh anak dan cucunya. Memasrahkan diri pada
Allah Swt, Sebaik-baiknya Zat tempat
berlindung.
Tamat
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah memberi komentar terbaik. Ditunggu kunjungan berikutnya.
Salam hangat ... :)