Pertemuan pertama saya dengan Wiwik terjadi di ruang kelas
menulis. Bukan kelas sungguhan ya, Gaes. Tapi kelas menulis online, Penulis
Tangguh, besutan Bun Nurhayati Pujiastuti. Dari pertemuan pertama itulah, saya
tahu, Wiwik ini ternyata punya bakat lebay. Bayangkan saja, baru statusnya
dikomen saja sudah salting macam perawan disuratin gebetan. Hiiy, enggak banget
kaan?
Saya
memang baru mengenalnya di kelas Penulis Tangguh, rupanya, ia sudah
mudah menulis sejak lama dan meraih gelar juara nasional di usia belia.
Di ajang lomba mengarang Hari Pangan Sedunia. Uwow.
Pantas
saja, pantas saja... ketika membaca tulisan pertama Wiwik di kelas,
saya merasa, tulisannya bernyawa. Bukan sekadar tulisan pendatang baru. Meski ia selalu rendah hati dengan penuh kelebayan mengikuti proses belajar di kelas.
Ke-lebay-an ini mungkin memang sudah bakat alaminya. Itu tak
bisa dipungkiri. Dan, saya rasa, itu pula yang membuat tulisan-tulisan penulis yang memiliki nama asli Dwi Asih Rahmawati ini
memiliki cita rasa yang unik. Hal-hal biasa yang kerap kita temui dalam
kehidupan sehari-hari akan menjadi kudapan jiwa yang penuh gizi bila diracik
oleh penulis muda ini.
Tulisan-tulisan inilah yang kemudian memikat hati
pembaca-pembaca statusnya. Tulisan-tulisan yang akhirnya dibukukan (atas
permintaan pembaca). Keren kan yaa?
Biar afdol, saya kutip salah satu tulisannya yang dimuat di buku Rumah Mutiara
Biar afdol, saya kutip salah satu tulisannya yang dimuat di buku Rumah Mutiara
Suatu pagi ketika ke luar dari pintu
dapur, mata saya tersuruk pada sepohon
mungil yang bersembunyi di balik pipa air. Menatapnya tak berkedip dengan hati
yang berdegub lembut, saya merenung tentang kebesaran Allah dan perasaan yang
tumbuh dalam diam.
Bayi pohon pepaya itu terpandang
tumbuh di tempat yang salah. Di sebuah lubang keciltempat pipa air yang dibuat
secara darurat karena ada pipa bocor tiga bulan sebelumnya. Padahal, sudah tiga
bulan juga saya tidak membeli pepaya. Lagipula, siapa yang mau repot-repot menyelipkan
sebiji pepaya di lubang kecil itu? Tapi nyatanya dia tumbuh. Akar serabutnya
mencengkeram pasir semen. Batangnya meliuk mengikut hambatan (pipa).
Pemandangan yang sungguh mendebarkan hati.
Apakah bayi pohon pepaya itu benar
lahir dan tumbuh di tempat yang salah? Memangnya Allah pernah salah
menciptakan, menumbuhkan dan menyuburkan sesuatu?
*
Yusuf alaihissalam tak pernah meminta
takdir untuk menjadi budak di rumah seorang petinggi negeri. Ia pun tak pernah
meminta untuk dicintai sedemikian gila oleh istri majikannya. Tapi, perasaan
itu mncul di hati istri majikan. Kuat dan memabukkan. Bahkan hilang malu untuk
mempertontonkan perasaannya di depan khalayak.
Apakah Allah kejam telah menumbuhkan
cinta di ladang yang salah?
Apakah Allah keliru telah menempatkan
Yusuf as yang—di beberapa riwayat dikisahkan—hatinya pun tertawan oleh cinta
majikan?
Tidak.
Semua yang terjadi sudah by design
dengan alasan yang jauh dari menyakiti dan membuat kita susah.Allah menyayangi
kita. Allah izinkan perasaan-perasaan itu hadir untuk mendidik kita, agar kita
bisa mengenali ada Dia sang Wadud. Dalam bentuk apapun kita merasakan cinta,
dengan cara apapun dan pada tingkat apapun, itu barulah seserpih dari pancaran
cinta Illahi.
Perasaan bukan tentang benar dan
salah, melainkan tentang sikap.
Sikap kita akan
menentukan apakah perasaan kasih sayang dan cinta itu akan semakin murni menuju
sang Pencipta atau menjelma jelaga dan menenggelamkan kehidupan. (Bayi Pohon
Pepaya dan Perasaan yang Tumbuh Dalam Diam)
Ibu dari tiga orang anak ini tidak saja mampu menyingkap tabir perihal
kejadian sepele dalam kehidupan
sehari-hari dan mengupasnya secara mendalam. Menjadi mutiara hikmah yang
tak perlu mengerutkan kening untuk memahaminya, Ia juga mampu
merangkai
kisah-kisah fiksi yang ciamik dan penuh
letupan emosi.
Maka tidak mengagetkan bagi saya, bila ia mampu menyabet gelar juara 1
untuk sayembara menulis bergengsi tingkat nasional. Seperti Lomba Cerber Femina
(2017) dan Lomba Art for Orangutan yang diadakan oleh Centre Of Orangutan Protection (Februari 2019)
Sebuah novel berjudul Tentang
Kita, juga catatan perjalanan spiritual ke Tanah Suci, Grand Me Time, menyuguhkan kesungguhan Wiwik dalam merangkai kata. Maka
saya nggak heran jika novel kumcer terbaru Wiwik, Lelaki Pembeli Kenangan, akan mampu mengaduk hati pembacanya lewat
cerpen-cerpen menarik dan diksi-diksi pilihannya.
Cobalah bacalah kutipan Opera
Cinta Minah, yang memenangkan lomba Art
Of Orangutan berikut :
Aku Bahorok
Semesta dikecupi
mentari pagi. Pancarnya garang menembus rimbundedaun hutan, dari jenis Malu Tua
sampai Damar Hitamyang sudah ratusan tahun usia. Berkas-berkas cahayanya lolos
membentuk pilar-pilar, menimpa akar yang saling silang di atas tanah bagai
kepang rambut anak perempuan.
*
Aku Minah
Taman Nasional Gunung
Leuser adalah rumahku. Tapi bkan rumah tempatku dikandung. Saat ke luar dari
rahim ibu, aku disambut lebatnya kasih sayang hutan Borneo. Kukira hidup akan
senyaman itu. Ternyata tidak. Sebab intai bahaya selalu datang dari makhluk
yang diberi akal budi. (Lelaki Pembeli Kenangan)
Selain Opera Cinta Minah, masih banyak banget cerpen-cerpen Wiwik yang mengharu-biru pembacanya.
Menariknya, dalam kumcer Lelaki
Pembeli Kenangan ini, Wiwik juga menuliskan latar belakang pembuatan
cerpen. Ini semacam cerpen di atas cerpen. Tidak melulu berisi keberhasilan,
melainkan juga perjalanan pahit dalam menulis.
Nah, nah, bagi yang ingin mengenal penulis yang ramah, lucu, imut dan menggemaskan ini lebih dekat,
boleh mampir di akun Fb nya Wiwik Waluyo atau IG : @wiwikwaluyo1.
Semoga bermanfaat...
Luar biasa emang mbak wik ini, masya Allah
BalasHapusSelamat rumah barunya teh liza
Sepakat.
HapusMakasih juga sudah berkunjung yaaa
Wah....indahnya... Ku cari ah di Fb
BalasHapusAyo, temenan
Hapus