Minggu, 14 Maret 2021

Yuk, Mengenal Penulis Muda Berbakat : Wiwik Waluyo


Pertemuan pertama saya dengan Wiwik terjadi di ruang kelas menulis. Bukan kelas sungguhan ya, Gaes. Tapi kelas menulis online, Penulis Tangguh, besutan Bun Nurhayati Pujiastuti. Dari pertemuan pertama itulah, saya tahu, Wiwik ini ternyata punya bakat lebay. Bayangkan saja, baru statusnya dikomen saja sudah salting macam perawan disuratin gebetan. Hiiy, enggak banget kaan?

Saya memang baru mengenalnya di kelas Penulis Tangguh, rupanya, ia sudah mudah menulis sejak lama dan meraih gelar juara nasional di usia belia. Di ajang lomba mengarang Hari Pangan Sedunia. Uwow.


Pantas saja, pantas saja... ketika membaca tulisan pertama Wiwik di kelas, saya merasa, tulisannya bernyawa. Bukan sekadar tulisan pendatang baru.   Meski ia selalu rendah hati dengan penuh kelebayan mengikuti proses belajar di kelas.

Ke-lebay-an ini mungkin memang sudah bakat alaminya. Itu tak bisa dipungkiri. Dan, saya rasa, itu pula yang membuat tulisan-tulisan penulis yang memiliki nama asli Dwi Asih Rahmawati ini memiliki cita rasa yang unik. Hal-hal biasa yang kerap kita temui dalam kehidupan sehari-hari akan menjadi kudapan jiwa yang penuh gizi bila diracik oleh penulis muda ini. 
Tulisan-tulisan inilah yang kemudian memikat hati pembaca-pembaca statusnya. Tulisan-tulisan yang akhirnya dibukukan (atas permintaan pembaca).   Keren kan yaa?
Biar afdol, saya kutip salah satu tulisannya yang dimuat di buku Rumah Mutiara 

Suatu pagi ketika ke luar dari pintu dapur, mata saya tersuruk  pada sepohon mungil yang bersembunyi di balik pipa air. Menatapnya tak berkedip dengan hati yang berdegub lembut, saya merenung tentang kebesaran Allah dan perasaan yang tumbuh dalam diam.

Bayi pohon pepaya itu terpandang tumbuh di tempat yang salah. Di sebuah lubang keciltempat pipa air yang dibuat secara darurat karena ada pipa bocor tiga bulan sebelumnya. Padahal, sudah tiga bulan juga saya tidak membeli pepaya. Lagipula, siapa yang mau repot-repot menyelipkan sebiji pepaya di lubang kecil itu? Tapi nyatanya dia tumbuh. Akar serabutnya mencengkeram pasir semen. Batangnya meliuk mengikut hambatan (pipa). Pemandangan yang sungguh mendebarkan hati.
Apakah bayi pohon pepaya itu benar lahir dan tumbuh di tempat yang salah? Memangnya Allah pernah salah menciptakan, menumbuhkan dan menyuburkan sesuatu?

*
Yusuf alaihissalam tak pernah meminta takdir untuk menjadi budak di rumah seorang petinggi negeri. Ia pun tak pernah meminta untuk dicintai sedemikian gila oleh istri majikannya. Tapi, perasaan itu mncul di hati istri majikan. Kuat dan memabukkan. Bahkan hilang malu untuk mempertontonkan perasaannya di depan khalayak. 

Apakah Allah kejam telah menumbuhkan cinta di ladang yang salah?
Apakah Allah keliru telah menempatkan Yusuf as yang—di beberapa riwayat dikisahkan—hatinya pun tertawan oleh cinta majikan?

Tidak.
Semua yang terjadi sudah by design dengan alasan yang jauh dari menyakiti dan membuat kita susah.Allah menyayangi kita. Allah izinkan perasaan-perasaan itu hadir untuk mendidik kita, agar kita bisa mengenali ada Dia sang Wadud. Dalam bentuk apapun kita merasakan cinta, dengan cara apapun dan pada tingkat apapun, itu barulah seserpih dari pancaran cinta Illahi.

Perasaan bukan tentang benar dan salah, melainkan tentang sikap.
Sikap kita akan menentukan apakah perasaan kasih sayang dan cinta itu akan semakin murni menuju sang Pencipta atau menjelma jelaga dan menenggelamkan kehidupan. (Bayi Pohon Pepaya dan Perasaan yang Tumbuh Dalam Diam)





Ibu dari tiga orang anak ini tidak saja mampu menyingkap tabir  perihal kejadian sepele dalam kehidupan sehari-hari dan mengupasnya secara mendalam. Menjadi mutiara hikmah yang tak perlu mengerutkan kening untuk memahaminya,  Ia juga mampu merangkai kisah-kisah fiksi yang ciamik dan  penuh letupan emosi. 

Maka tidak mengagetkan bagi saya, bila ia mampu menyabet gelar juara 1 untuk sayembara menulis bergengsi tingkat nasional. Seperti Lomba Cerber Femina  (2017) dan Lomba Art for Orangutan yang diadakan oleh Centre Of Orangutan Protection (Februari 2019)

Sebuah novel berjudul Tentang Kita, juga catatan perjalanan spiritual ke Tanah Suci, Grand Me Time, menyuguhkan kesungguhan Wiwik dalam merangkai kata. Maka saya nggak heran jika novel kumcer terbaru Wiwik, Lelaki Pembeli Kenangan, akan mampu mengaduk hati pembacanya lewat cerpen-cerpen menarik dan diksi-diksi pilihannya.

Cobalah bacalah kutipan Opera Cinta Minah, yang memenangkan lomba Art Of Orangutan berikut :

Aku Bahorok
Semesta dikecupi mentari pagi. Pancarnya garang menembus rimbundedaun hutan, dari jenis Malu Tua sampai Damar Hitamyang sudah ratusan tahun usia. Berkas-berkas cahayanya lolos membentuk pilar-pilar, menimpa akar yang saling silang di atas tanah bagai kepang rambut anak perempuan.

*
Aku Minah
Taman Nasional Gunung Leuser adalah rumahku. Tapi bkan rumah tempatku dikandung. Saat ke luar dari rahim ibu, aku disambut lebatnya kasih sayang hutan Borneo. Kukira hidup akan senyaman itu. Ternyata tidak. Sebab intai bahaya selalu datang dari makhluk yang diberi akal budi. (Lelaki Pembeli Kenangan)


Selain Opera Cinta Minah, masih banyak banget cerpen-cerpen Wiwik yang mengharu-biru pembacanya.

Menariknya, dalam kumcer Lelaki Pembeli Kenangan ini, Wiwik juga menuliskan latar belakang  pembuatan cerpen. Ini semacam cerpen di atas cerpen. Tidak melulu berisi keberhasilan, melainkan juga perjalanan pahit dalam menulis. 

Nah, nah, bagi yang ingin mengenal penulis yang ramah, lucu, imut dan menggemaskan ini lebih dekat, boleh mampir di akun Fb nya Wiwik Waluyo atau IG : @wiwikwaluyo1.

Semoga bermanfaat...

4 komentar:

Terima kasih sudah memberi komentar terbaik. Ditunggu kunjungan berikutnya.
Salam hangat ... :)

Museum Geologi Bandung, Wisata Edukasi Murah Meriah

Museum Geologi Bandung, wisata edukasi murah meriah (dok.pri) Liburan  paling asyik jika diisi dengan acara jalan-jalan bareng keluarga. Ngg...