Langsung ke konten utama

Risna Hasanudin, Merajut Asa Perempuan dan Anak-anak di Tanah Papua

 

Risna Hasanudin, Merajut Asa Perempuan dan Anak-anak di Tanah Papua (Foto : IG Risna Hasanudin)

Papua selalu memiliki daya tarik tersendiri bagi Risna Hasanudin, seorang pejuang literasi yang memilih untuk concern pada dunia pendidikan dan perempuan, khususnya di Papua.

Ketertarikan Risna pada Papua berawal dari kegiatannya sebagai aktivis organisasi intra kampus, dimana Papua sering menjadi tema diskusi, karena banyak sekali konflik dan masalah yang terjadi di Papua.

“Saya punya keinginan sederhana waktu itu, untuk melihat Papua dengan cara yang berbeda,” tuturnya kepada penulis saat diwawancarai, Kamis 5 Oktober 2023.

Keinginannya ini terealisasi ketika seorang teman kuliah yang mengetahui aktivitasnya sebagai aktivis kampus, memberikan link untuk mengikuti tes program PSP3 (Pemuda Penggerak Sarjana di Pedesaan) dari Kementerian Pemuda dan Olahraga. Alhamdulillah, lolos dan ditempatkan di desa Kobrey, Manokwari Selatan.

Ketika menjejakkan langkah di tanah Papua, ia mulai menyadari, ekspektasinya semasa kuliah dan diskusi-diskusi panjang yang diikutinya berbalik 180 derajat.

“Ternyata konflik yang terjadi banyak dan sangat kompleks dan tidak semenyeramkan yang dikatakan. Sekali pun memang ada berbagai kondisi yang mengharuskan kita ekstra hati-hati dalam berkegiatan dan beraktivitas,” jelasnya kemudian.

Relawan asal Banda Naira, Maluku, 1 Oktober 1988 ini menceritakan, meski pun konflik yang terjadi di Papua sangat banyak dan kompleks, namun di daerah penempatannya, desa Kobrey, Manokwari Selatan yang menempati posisi kepala burung di pulau Papua, konflik antara masyarakat adat dan pemerintah tidak nampak.

Salah satu konflik yang sering terjadi adalah ketika ada gelombang penerimaan ASN, mereka tidak bisa memenuhi syarat karena tingkat pendidikan yang rendah. Karena selama ini mereka memandang rendah dan tidak mementingkan pendidikan formal, sehingga kalah bersaing dengan para pendatang.

Faktor yang menyebabkan masyarakat Papua tidak mementingkan pendidikan formal berasal dari faktor internal dan ekternal. Misalnya budaya patriaki yang mewajibkan perempuan untuk tidak mengenyam bangku sekolah. Sementara faktor eksternal, kondisi pendidikan yang tidak konseptual dan selaras dengan kondisi Papua.  

Kondisi ini menyebabkan masyarakat Papua, khususnya kaum perempuan mengalami kesulitan saat mengikuti kegiatan-kegiatan di desa. Mereka tidak bisa membaca, menulis, berhitung, bahkan tidak bisa membuat tanda tangan sendiri.

Sebagai sarjana lulusan FKIP Universitas Pattimura Maluku, Risna memilih pendidikan dan perempuan sebagai batu loncatan perjuangannya di Papua. Ia ingin memberikan pengetahuan sesuai kebutuhan mereka. Seperti membuat tanda tangan, dan mengajari mama-mama membaca Alkitab, dan berhitung.

Tentunya bukan hal yang mudah bagi Risna untuk memulainya. Mengingat tingginya kecurigaan penduduk setempat kepada pendatang dan rendahnya dukungan terhadap pendidikan, khususnya perempuan, juga tingkat keamanan yang rendah, membuat Risna perlu memikirkan strategi yang matang.

Setelah memahami kondisi di lapangan, Risna meminta diri kepada teman-teman sesama relawan PSP3, untuk berbaur di tengah-tengah masyarakat. Ia kemudian meminta izin kepada kepala desa, untuk tinggal di rumah penduduk, bukan di sekretariat Dispora lagi.

Berbaur, Merajut Asa Perempuan dan Anak-anak di Tanah Papua

Berbaur, merajut asa di tanah Papua ( Foto : IG Risna Hasanudin)

 

Berbaur menjadi pilihan Risna agar dapat menyentuh hati perempuan-perempuan Papua. Tekatnya semakin kuat saat menyadari banyaknya pernikahan dini yang diikuti tingginya tingkat kematian ibu dan anak, serta angka stunting. Kurang gizi.

“Saya sering mengajak ngobrol dan mereka kan suka ngobrol. Mendengarkan curhat-curhat, apa saja yang mereka rasakan soal ilmu pengetahuan. Saya posisinya hanya mendengar saja apa yang mereka ceritakan tanpa mencela apa yang mereka kerjakan dan utarakan,” ujarnya.

Perempuan yang tetap mengenakan hijab dalam menjalani aktivitasnya ini juga menjelaskan bahwa selain mengajak mengobrol, makan dan minum kopi bersama, ia pun kerap turun ke kebun saat panen tiba, seperti  saat panen coklat.

Kebiasaan setempat yang sering mengadakan pesta dan makan-makan pun menjadi ajang untuk bersosialisasi dan berbaur. Mereka menghormati keberadaannya dengan menyediakan makanan halal yang bisa dimakannya.

Risna pun tak segan-segan membantu saat mereka membutuhkan pertolongan, tanpa bayaran, seperti mengetik permohonan bantuan-bantuan  di kantor bupati.  

Mendirikan  Rumah Cerdas Perempuan Arfak 

Risna Hasanudin, membangun Rumah Cerdas Perempuan Arfak (Foto: IG Risna Hasanudin)

 

Akhirnya setelah berhasil meraih hati mama-mama dan anak-anak di desa Kobrey, September 2014,  Risna mendirikan rumah belajar (Rumah Cerdas Perempuan Arfak Papua Barat ). Konsentrasi utamanya adalah mengajarkan membaca, menulis, dan berhitung.

Ia mendirikan PAUD, mengajari anak-anak membaca peta dan sejarah Indonesia. Selama 2 tahun Risna menjalankan program PSP3, kemudian lanjut tanpa sokongan pemerintah selama 2 tahun, 3 tahun kemudian melibatkan LSM.

Ia mengembangkan program pada layanan publik pendidikan dan mutu  pendidikan, terutama satuan pendidikan PAUD/TK, SD, SMP, SMA, juga tenaga pendidikan. Karena ada daerah-daerah tertentu yang kekurangan guru, guru yang jarang mengajar dan masyarakat yang pola pikirnya masih rendah terkait masalah pendidikan.

Selain itu ia memberikan pelatihan tentang usaha kecil, untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga sekaligus melestarikan budaya asli Papua dalam merajut noken. Program ini diberi nama Rumah Cerdas Komunitas Perempuan Arfak (RCKPA) pada tahun 2019. 

Berdirinya Rumah Noken

 

Hasil kreativitas Rumah Noken (Foto : IG Risna Hasanudin)

Sejak tahun tahun 2019, hingga saat ini, Risna fokus pada literasi perempuan dan pangan. Konflik yang berawal di Surabaya hingga menimbulkan kerusuhan di Papua, membuatnya harus berhati-hati saat berinteraksi dengan mahasiswa saat itu.

Ia mengajak mahasiswa untuk ngobrol dan ngopi, terjun langsung ke asrama mahasiswa untuk mendengarkan suara hati mereka, juga memberikan bantuan nonlitigasi terhadap mahasiswa yang membutuhkan bantuan hukum,seperti pengacara, serta bantuan moral.

Dengan para mahasiswa inilah, Risna kemudian membangun kegiatan-kegiatan kepemudaan tentang sosial budaya, pangan, perempuan dan konservasi.

Kolaborasi dengan mahasiswa ini kemudian mengembangkan program-program RCKPA menjadi Rumah Noken, agar bisa menjadi wadah yang bisa merangkul semua komunitas perempuan Papua berbagai suku dengan memberdayakan para pengrajut noken. Lalu membantu menyalurkan hasil kreativitas pengrajut noken ke NGO.

NGO sendiri, sebagaimana yang kita ketahui, merupakan organisasi nirlaba dengan basis kepentingan sipil dan lingkungan, yang beroperasi secara independen tanpa adanya campur tangan pemerintah, untuk melayani kebutuhan sosial masyarakat.

“Saya ingin menonjolkan sisi identitas kebudayaan mereka agar tidak hilang. Dan bagian kampanye kami soal penggunaan kantong sampah yang ramah lingkungan,” jelasnya kemudian.

Meski pun awal perjuangannya cukup berat, karena karakter budaya setempat yang gemar berpesta dan menganggap rendah pendidikan, namun ia berhasil menjalankan program-program yang telah dicanangkannya, hingga saat ini, memasuki 8 tahun masa perjuangan. Dan hingga saat ini, ia masih berada di Papua. 

Meraih SATU Indonesia Awards 2015

Risna Hasanudin, raih penghargaan SATU Indonesia Awards 2015 di bidang Pendidikan (Foto : Ig Risna Hasanudin) 


Keberhasilan program yang dijalankan Risna tak lepas dari kedekatan yang dilakukannya kepada mama-mama dan anak-anak Papua. Hal ini terlihat jelas di laman media sosial, Instagram, yang kerap diunggah Risna.

Ia tidak saja berhasil menghapus buta baca tulis  dan memberdayakan perempuan Papua, namun juga menjadikan dirinya sebagai bagian dari masyarakat setempat.

Maka tak mengherankan jika Risna didaulat menjadi salah satu peraih penghargaan SATU Indonesia Awards 2015, di bidang Pendidikan,  yang diberikan oleh PT. Astra Internasional, kepada pemuda yang berhasil membawa perubahan bagi masyarakat.

Barakallah Risna, semoga semua lelah dan peluhmu menjadi jalan meraih ridho Illahi. Bukankah ketika kita mencintai dan menyayangi yang ada di bumi, maka yang di langit pun akan menyayangi dan mencintai kita? 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Akademia LEAD by IndiHome, Solusi Untuk Anak Yang Hobi Game Online

Pentingnya pengasuhan anak agar cerdas bergame online (Foto : Pixabay) Dear Mom, pusing nggak sih melihat anak-anak nge-game online melulu? Sepertinya ini problem yang dimiliki hampir semua orang tua yang memiliki anak usia sekolah. Persoalan ini makin rumit karena pada akhir-akhir ini sistem pembelajaran jarak jauh kembali diberlakukan di beberapa wilayah. Berdalih untuk memudahkan proses belajar, anak-anak memiliki keleluasaan untuk berlama-lama menggunakan gawai. Terlebih jika tersedia jaringan internet cepat di rumah, oh, tentu membuat anak-anak senang menghabiskan waktu untuk bergame ria. Dengan catatan, hal itu terjadi jika orang tua tidak peduli dengan kegiatan anaknya selama di rumah. Beberapa waktu yang lalu, saya sempat berbincang dengan seorang teman, seorang ibu yang berprofesi sebagai   praktisi pendidikan, Lita Edia. Beliau mengatakan, bahwa kita tidak bisa menahan kemajuan teknologi yang mengubah kehidupan kita. Kita tidak bisa membalikkan zaman, tetapi kita bisa m

Cerahkan Desember Dengan Satu Klik, Bikin Semua Lebih Asyik

  Aplikasi terbaru myIndiHome, memudahkan pengguna internet (Foto : Fixabay) Desember tahun ini diawali dengan banyak peristiwa heboh yang menguras emosi dan menimbulkan kesedihan mendalam. Dari kasus bunuh diri seorang mahasiswi di samping kuburan ayahnya yang melibatkan seorang oknum polisi. Kasus yang akhirnya terungkap akibat kegaduhan netizen di media sosial. Sayangnya, keadilan tidak bisa menyelamatkan korban yang telanjur putus asa dan memilih mengakhiri hidupnya. Kesedihan di dunia maya belum sepenuhnya hilang, disusul peristiwa meletusnya gunung tertinggi di Pulau Jawa, Gunung Semeru. Terlalu mengejutkan rasanya. Tidak ada yang bisa mencegah peristiwa alam sehebat gunung meletus, hanya saja kita masih bisa berdoa, semoga erupsi gunung ini tidak terlalu banyak memakan korban jiwa, dan masyarakat bisa segera pulih dan beraktivitas seperti biasa. Tentunya ini memerlukan bantuan dan dukungan semua pihak. Selain peristiwa di atas, ada satu peristiwa yang cukup mempengaruhi

Faiz, Anak Down Syndrome yang Berbakat Jadi Model Cilik.

  Menjadi model dalam balutan beskap produk khas Lelaki Kecil Saya tidak pernah menyangka, Faiz, putra ke-3 Mbak Sri Rahayu akan tumbuh sehat, ceria, penuh percaya diri dan menggemaskan, seperti yang tampak dalam foto-foto yang kerap diunggah ibunya ke media sosial. Saya bahkan hampir tak percaya, ia bisa bertahan sampai sebesar ini, dan baik-baik saja. Mengingat awal kelahirannya yang penuh drama dan air mata. Riwayat kelahiran dengan jantungnya yang bocor saja sudah cukup memukul perasaan, ditambah dengan kenyataan pahit, Faiz didiagnosa Down Syndrome. Entah berapa banyak teman-teman kecil seperjuangannya yang telah berpulang. Namun, Faiz tetap bertahan. Untuk lebih lengkapnya, yuk, mengenal Faiz, model cilik lewat penuturan Sri Rahayu, Sang Bunda. Wanita berhijab ini adalah seorang penulis, blogger dan vlogger yang cukup lama berkecimpung di dunia maya.   Sosok Faiz yang rapuh di awal kelahiran (doc Bunda Faiz) Awal Kelahiran Yang Penuh Ujian Hari itu, 11 Januari 2018, hari yang tak