 |
Cerpen lokalitas (Foto : Unsplash)
|
Jika
saja Anggita tahu, ujung dari sebuah pelarian hanya akan menimbulkan luka yang
baru, mungkin ia akan bertahan di kota kelahirannya. Mencoba bersabar setiap
kali rintik hujan menoreh hatinya. Bukankah apa yang tidak bisa membunuhmu
hanya akan menjadikanmu lebih kuat? Ia pernah membacanya, namun abai untuk
mempercayainya.
Hari-hari
setelah kedatangan Sadine di tanah persembunyiannya ini membuat Kepulauan Raja
Ampat kehilangan pesona. Tak ada lagi langit biru terang, yang menenangkan
hati. Tak ada debur ombak yang meluruhkan keluhnya. Kedatangan perempuan itu
membawa gemuruh luka yang membuat jiwanya luluh lantak.
Ia
hampir melupakan Dion yang meninggalkannya demi perempuan pemilik lesung pipi
yang indah itu. Ia baru saja ingin melupakan masa lalunya, ketika hujan
mengirim mimpi buruk itu ke tempat ini. Mengapa?
Pertanyaan
itu membelenggunya. Menimbulkan nyeri yang menyesakkan. Ia menghirup udara dalam-dalam.
Berharap aroma laut yang lamat-lamat tercium mampu meredakan prahara di
hatinya. Pelahan tangannya membuka jendela kamar, membiarkan angin malam
menguapkan keresahannya yang terasa begitu pekat akhir-akhir ini. Sepertinya ia
memang harus segera pergi dari rumah ini.
Pamit
meninggalkan rumah panggung Mama Latifah Salawati sudah dipikirkannya
masak-masak. Selain hujan yang mulai jarang, ia merasa tak nyaman serumah
dengan Yose. Terlebih setelah kedatangan Sadine. Ia lelah menghindari Yose,
terutama Sadine.
Kedatangan
Sadine membuat rumah kediaman Mama Latifah terasa lebih hidup dan penuh gelak
canda. Ia sering mendengar suara tawa mereka, karena Sadine begitu pandai
memancing tawa. Anggita tak ingin tampak aneh di mata semua orang. Ia tak ingin
Mama Latifah atau Yose tahu tentang masa lalunya. Tentang lukanya. Tentang
Sadine yang telah membawa Dion pergi. Juga rasa yang baru saja tumbuh di
dadanya. Itu adalah rahasianya.
Awalnya Mama Latifah tampak keberatan, ia
mulai merasa sayang pada gadis pulau Jawa
yang lembut dan pandai membawa diri itu. Namun ia cukup bijaksana untuk diam-diam
memahami konflik yang terbangun antara anaknya dan Anggita sejak kedatangan
Sadine.
Mama
Latifah pun mengizinkan Anggita kembali ke pondok di pinggir laut dengan satu
syarat, yaitu harus ada gadis setempat yang menemaninya. Beliau memilih
Fatimah, sepupu Yose, untuk menemaninya.
Anggita
menarik napas lega. Berbulan-bulan di Pulau Salawati membuatnya cukup akrab
dengan gadis remaja yang lincah dan periang itu. Ia yakin, mereka akan
baik-baik saja. Lagi pula, siapa yang berani mengganggu mereka berdua? Mama
Latifah sudah mewanti-wanti penduduk setempat untuk menjaga dan menghormatinya.
Selama ini, sebagai tetua kampung, suara Mama Latifah selalu didengarkan.
Yose
sudah sepekan pergi mengantar Sadine ke daerah-daerah wisata di Raja Ampat.
Entah apa yang dilakukan perempuan itu di sini. Ia tak ingin tahu. Apalagi
pekerjaannya sebagai peneliti hutan mangrove cukup menyita waktunya.
Biasanya
ia dan Yose bersama-sama memberikan penyuluhan ke masyarakat setempat tentang
pentingnya menjaga kearifan lokal. Bersampan menyusuri Sungai Doktor yang panjang dan menyapa hangat penduduk yang tengah berendam di sungai. Mereka percaya sungai itu mampu menyembuhkan berbagai penyakit. Lalu mengagumi ikan-ikan pelangi yang berlenggang-lenggok manja memantulkan keindahan warna sisiknya.
Tak jarang ia ikut menanam pohon sagu muda setelah kaum lelaki menebang 2-3 batang pohon untuk membuat sagu yang menjadi makanan pokok penduduk setempat. Warisan leluhur yang dijaga baik-baik oleh penduduk setempat dengan keterlibatan aktif Yose sebagai penerus kepemimpinan adat di Pulau Salawati.
Itu juga yang menjadi salah satu sebab pemuda itu mendukung kegiatannya untuk melakukan penelitian hutan mangrove di tanah yang begitu dicintainya. Semakin mengenal Yose, rasa kagum pada sosok tegap berkulit tegap itu semakin besar. Terlebih, pemuda itu pun mampu menghadirkan rasa nyaman saat bersama.
* |
Melindungi hutan mangrove, melindungi ekosistem (Foto : Pixabay)
|
Menjaga
kelestarian hutan bakau artinya melindungi kelangsungan hidup masyarakat. Selain untuk melindungi ekosistem laut, terutama terumbu karang, yang
menjadi salah satu daya tarik wisata di Pulau Salawati, juga bisa dimanfaatkan
untuk beternak udang, ikan. Pohon bakau bahkan berguna untuk pengobatan seperti diare,
sakit gigi, diabetes dan lain-lain. Anggita mempelajarinya dari internet.
Ia tak akan bisa memberikan
informasi semacam itu jika ia tak melakukan riset terlebih dahulu. Manfaat internet memang sangat terasa, bahkan saat berada jauh dari keramaian.
Ia merasa bersyukur, meski jauh dari ibukota, jaringan Telkom Indonesia sangat
membantu ketika ia harus mengirim laporan-laporan ke kantor pusat di Bogor.
Keberadaan IndiHome, sebagai Internetnya Indonesia, dengan jaringan kabelnya
yang menjangkau hingga tanah Papua menghilangkan kendala-kendala komunikasi. Apalagi IndiHome selalu mengadakan perbaikan ratio dengan meningkatkan kecepatan transfer data efektif dan menurunkan ratio penundaan data yang terkirim, sehingga berselancar di internet menjadi lebih cepat dan stabil. Kesibukannya
itu membuatnya sedikit melupakan masalah yang akhir-akhir ini membuatnya merasa
tak nyaman.
 |
Proses pengolahan batang sagu menjadi tepung siap olah (Foto : Youtube)
|
Seharian ini ia habiskan untuk mengikuti acara pesta sagu. Jika ada Yose, tentu pemuda itu dengan senang hati turun tangan membantu. Dari proses menebang
pohon sagu, lalu memarut dan memeras serbuk sagu hingga airnya mengendap dan
menjadi adonan tepung sagu. Hati Anggita menghangat mengingat Yose. Seperti biasa ia bertugas membantu di dapur bersama para ibu
dan gadis.
Mereka mengolah sagu menjadi semacam bubur, lalu
dihidangkan dengan kuah kuning yang dimasak bersama udang dan ikan hasil tangkapan kaum
laki-laki. Mereka menyebutnya Papeda. Hidangan yang sungguh lezat. Saat ditawari cemilan favorit berupa ulat sagu, Anggita
dengan sopan menolak cemilan yang konon rasanya lezat, seperti susu.
Langit
tengah berpesta cahaya saat tubuh letihnya akhirnya berhasil menaiki anak
tangga terakhir. Ia mengira akan menjumpai Fatimah lengkap dengan pisang rebus
atau sagu bakar dengan lauk ikan yang sedap. Namun kali ini ia salah.
“Sampai
kapan kamu ingin menghindariku?”
Yose.
Lelaki itu tidak menatapnya, melainkan
menatap jauh ke tengah lautan. Bayang-bayang hutan mangrove mulai tampak gelap.
Sementara laut dengan suka cita bermandikan cahaya. Pelan dan syahdu, bola raksasa
berwarna jingga itu pun menghilang.
“Kamu...
bertanya sama siapa?” Anggita tergagap. Menyesal mengeluarkan pertanyaan
sebodoh itu.
“Kamu
pikir aku bertanya pada siapa lagi?” Suara Yose terdengar jengkel. Tak pernah
Anggita mendengar Yose sejengkel ini. Ia pun mencoba membela diri.
“Aku
nggak menghindari kamu. Kamu tahu kan, aku sibuk. Lagi pula, kamu juga sibuk
dengan temanmu itu. Aku tak ingin mengganggu kalian.” Terdengar suara dengusan
Yose. Anggita pura-pura tak mendengarnya.
“Ok.
Sudah malam. Aku mau istirahat dulu.”
“Dengar,
Anggita, tak ada hubungan apa-apa antara aku dengan Sadine, atau dengan
perempuan mana pun. Kuharap kamu tahu itu.” Suara Yose terdengar dalam. Anggita
terpaku. Sejenak ada perasaan lembut yang merayapi hatinya. Namun, ia segera
menepisnya. Ia sudah pernah terluka sekali. Ia tak ingin terluka untuk
keduakalinya. Sungguh tak ingin.
Matahari
telah betul-betul sempurna terbenam. Bintang gemintang bertaburan di atas
langit Pulau Cenderawasih. Anggita menghembuskan napas panjang.
“Aku
sudah lelah, Yos. Aku ingin istirahat.” Ia mengusir Yose secara halus.
Pertemuan kali ini di luar rencananya. Untunglah Fatimah segera datang, dan
menyelamatkannya dari situasi yang serba tak nyaman.
*
Hari-hari
selanjutnya adalah hari-hari yang padat. Tak seperti biasa, setelah Yose
kembali, ia memilih untuk sibuk berkutat
dengan berbagai laporan kegiatan dan konfrensi jarak jauh. Atau pun, sekadar menyapa
dan becanda dengan rekan-rekan kantornya, seolah jarak terlipat ribuan kilo dengan
adanya fasilitas internet cepat dari
IndiHome. Ia melakukan apa saja agar tidak bertemu dengan lelaki itu.
Hari
sudah beranjak petang. Matanya sudah amat lelah menatap layar laptop. Ia
memalingkan wajah ke arah jendela yang
terbuka lebar. Sejak tinggal di pondok di tepi laut ini, ia selalu
melakukan itu. Selain bebas memandang laut yang dipagari pohon-pohon mangrove,
juga agar angin laut yang membawa aroma mangrove bisa bebas masuk. Ia menyukai
perpaduan aroma asin air laut dan pohon mangrove yang banyak tumbuh di Pulau
Salawati ini.
Perlahan
ia bangkit dan melangkah keluar dari pondok. Suasana begitu sepi, agaknya Fatimah
belum kembali dari menengok ibunya. Tiba-tiba matanya terpaku menatap lelaki
yang tengah duduk diam di bibir teras. Lelaki berkulit gelap itu bergeming saat
Anggita memutuskan untuk mendekati dan duduk di sebelahnya.
“Aku
sudah tahu semuanya.” Lelaki itu tiba-tiba berpaling dan menatap Anggita
dalam-dalam. Anggita tersentak. “Apa yang kamu tahu?” Ia berusaha membuang rasa
jengah yang menyeruak tiba-tiba.
“Aku
tahu tentang pelarianmu ke tanah ini. Aku tahu apa yang terjadi antara kamu,
Sadine, ... Dan Dion.”
Wajah
Anggita memerah. Ia tak menyangka Yose akan
menyelidiki kehidupan masa lalunya.
“Aku
memaksa Sadine bercerita pada saat mengantarnya pulang.”
“Kamu...?”
Suara Anggita bergetar menahan kecamuk rasa yang membuncah di dadanya.
“Sadine
mengatakan bahwa ia tak pernah berniat menghancurkan rumah tangga kalian. Dion
memang memang terobsesi padanya. Tapi ia tak pernah mencintai Dion. Ia tak
ingin ...”
“Sudah,
Yose! Cukup. Aku tak ingin lagi mendengar penjelasanmu tentang perasaan Sadine
pada Dion. Atau perasaan Dion pada Sadine. Aku sudah cukup terluka, tidakkah
kamu tahu itu?” Anggita memalingkan wajahnya. Menahan air mata agar tak tumpah
di hadapan Yose. Ia tak ingin terlihat lemah dan bodoh.
“Anggita...
Maaf.” Yose menghela napas. Matanya kembali menatap laut, mencari kata-kata
yang tepat untuk diucapkan. “Aku tak bermaksud membuatmu kembali terluka. Aku
tak ingin kamu terluka. Jika mungkin,... selamanya.”
Anggita
terdiam. Menekan dalam-dalam desir lembut yang membuat wajahnya merona.
“Aku
mencintaimu, Anggita.”
“Tapi...
kondisiku tak sesederhana yang kamu pikirkan. Aku...”
“Mama
sudah tahu, jika itu yang kamu pikirkan.”potong Yose cepat. “Dan aku
menunggumu, kapan pun kamu siap meninggalkan masa lalumu.”
Anggita
menatap lelaki di sampingnya. Bola mata indahnya menakar kesungguhan di raut
kukuh lelaki yang diam-diam mencuri hatinya itu. Yose membalas tatapannya
dengan tatapan yang membuat Anggita ingin membenamkan diri di kedalamannya.
Debur
ombak yang pecah di batu-batu karang memantulkan
deburan indah di dadanya. Anggita tahu, sudah saatnya ia melangkah keluar dari
bayangan masa lalu. Seulas senyum indah terbit di wajahnya, berlatar lautan yang disepuh cahaya jingga keemasan.
Tamat.
(Baca juga : Di Ujung Kemarau ya, saya menulis alasan Anggita pergi ke Pulau Salawati di sana. Cerpen itu pernah dimuat di Majalah Femina)