Cerpen remaja, Liza P Arjanto (Foto : Pixabay) |
Cerpen remaja ini merupakan satu jejak bersama puluhan cerpen lainnya yang ditulis teman-teman di kelas menulis, Penulis Tangguh asuhan Bunda Nurhayati Pujiastuti. Di dalamnya ada cerpen Yulina Triharningsih, Utami Panca Dewi, Ruwi Meita, Yuniar Khairani, dan lain-lain. Dear Koko, adalah cara kami untuk mengenang adik, sekaligus sahabat yang telah pergi mendahului kami, Koko Ferdy.
---
Antologi cerpen remaja, Penulis Tangguh (Foto : koleksi pribadi)
Gantungan Kunci Spesial Untuk Koko
Oleh : Liza P Arjanto
Tangan Monik bergerak lincah meronce manik-manik yang berkilauan ditimpa sinar matahari pagi. Sementara mulutnya tak henti menerangkan pada teman yang duduk paling dekat dengannya cara merangkai manik-manik itu. Sesaat ia akan menikmati rasa kagum yang muncul di mata teman-temannya. Lalu mendengarkan pujian tentang betapa terampilnya ia membuat aneka gelang dan gantungan kunci. Namun itu hanya sesaat.
Ia tahu, mereka tak pernah menyukai dirinya. Mereka hanya terpaksa mendengarkan kalimatnya demi kesopanan dan menjaga perasaannya. Monik tahu itu. Ia bisa merasakan semua itu. Sebentar lagi satu persatu temannya yang tadi bergerombol akan pamit. Pada akhirnya ia akan duduk sendiri. Hanya sendiri saja, bersama kotak manik-maniknya.
“Sorry, Mon, aku ke kantin dulu ya. Jangan lupa, gantungan kuncinya buat aku.” Pamit Febby sambil bergegas meninggalkan Monik yang terus meronce. Monik mengangguk pelan. Ia sudah biasa dengan semua itu.
Sekali waktu ia pernah bertanya pada Febby, mengapa teman-teman menjauhi dan menghindarinya. Febby hanya mengatakan, karena ia dianggap aneh. Ia menjadi anak aneh karena selalu membawa kotak manik-manik kemana pun ia pergi. Ia dianggap aneh, karena ia tidak bisa pergi kemana-mana tanpa pengawalan mama. Kecuali saat sekolah. Bahkan ketika study tour, mama akan duduk di sebelahnya.
Monik menghela napas. Air mata membayangi bola matanya. Ditatapnya gerombolan teman-teman sekolahnya yang tertawa ceria. Mereka berkelompok-kelompok. Mereka tertawa bahagia. Kecuali dirinya. Tiba-tiba ia merasa sunyi.
Perlahan ia membereskan kotak manik-maniknya. Ia tak ingin terlihat semakin aneh bila menangis tanpa sebab. Hanya ada satu ruangan yang akan memeluknya dan membuatnya damai. Bekas ruang ekstrakurikuler PMR. Ia tak sengaja menemukan ruangan itu saat hendak mencari seseorang. Sejak saat itu ia sering bersembunyi di sana bila ia ingin sendiri.
Akan tetapi kali ini ia keliru. Di dalam ruangan itu ada sosok bertubuh jangkung yang tengah asyik menulis. Koko, desisnya dalam hati. Kenapa ketua kelasnya itu ada di sini? Ia merasa heran sekaligus gugup. Ia memutuskan segera berbalik ketika kotak manik-maniknya terjatuh dan berhasil membuat Koko terlonjak kaget. Wajah Monik memerah.
“Maaf, Ko. Kupikir nggak ada siapa-siapa di sini.” Dengan gugup Monik meminta maaf seraya memunguti manik-maniknya yang berceceran di lantai. Perasaannya campur aduk terlebih ketika Koko tersenyum maklum.
“Nggak apa-apa. Emang kamu biasa menyendiri di sini ya?”ujar cowok berambut jambul itu. Ia menutup buku catatannya dan langsung membantu Monik mengumpulkan manik-maniknya.”Kalo gitu aku yang harus minta maaf karena membuatmu kaget.”
Monik menggelengkan kepalanya. Degup di dadanya semakin kencang. Inginnya ia segera berlari meninggalkan ruangan itu. Tapi itu tak mungkin. Tak mungkin ia pergi tanpa kotak manik-manik miliknya. Dengan keringat yang berembun di ujung hidungnya, ia menabahkan hati menghadapi cowok baik hati yang diam-diam mencuri perhatiannya sejak pertama bertemu.
Semakin banyak butiran manik yang terkumpul semakin bertambah rasa percaya diri Monik. Pelahan ia perasaan nyaman melingkupi dirinya. Dan ketika semua manik berhasil terkumpul, ia bisa menatap wajah ganteng di hadapannya.
“Kamu mau aku buatkan gantungan kunci, Ko?” tanyanya dengan mata penuh harap.
“Oh, mau dong. Kamu, kan, pintar membuat gantungan kunci unik.” Senyum di wajah Koko membuat debur di dada Monik kian kencang. Namun Monik bisa mengatasinya dengan meronce manik-manik. Kali ini untuk Koko. Sesuatu menjadi gantungan kunci yang spesial, janji Monik dalam hati.
*
Ternyata membuat gantungan kunci yang spesial itu tak mudah. Berulang kali Monik membuat gantungan kunci, hasilnya selalu biasa saja di matanya. Monik memang tak pernah mengurai lagi rangkaian manik yang diikat benang nilon itu. Sebab itu di meja belajarnya kini dipenuhi gantungan kunci aneka warna dan bentuk.
Menurut mama, gantungan kunci buatannya itu bagus-bagus. Akan tetapi tak cukup bagus untuk Koko, bantah Monik dalam hati, setiap kali mama berkomentar soal gantungan kunci yang terus bertambah setiap hari.
Di sekolah pun setiap kali ada kesempatan, ia akan menyendiri membuat gantungan kunci. Bila dulu ia masih berusaha menyapa teman-temannya dan membuatkan mereka gantungaan kunci, pin, atau gelang, kini ia disibukkan dengan membuat gantungan kunci untuk Koko.
Hal itu pula yang membuat ia -sebisa mungkin- menghindari Koko. Agak sulit tentunya mengingat mereka berada di kelas yang sama. Untungnya ia terbiasa dianggap tidak ada di kelas. Kehadirannya atau ketidakhadirannya tak akan mempengaruhi suasana kelas. Sehingga ia memutuskan hanya ingin berbicara pada Koko bila gantungan kunci itu sudah selesai ia buat. Sayangnya, meski sudah berhari-hari ia belum juga berhasil membuat sesuatu yang spesial untuk Koko. Gantungan kunci yang dibuatnya, selalu biasa-biasa saja di matanya.
Monik menatap gantungan kunci kesekian yang telah selesai ia buat. Selalu saja ada yang terasa kurang. Lalu pandangannya beralih ke arah kotak manik-manik. Ada perasaan kesal yang menyeruak. Tidak pernah ia merasa sekesal ini. Ia telah membongkar tabungannya untuk membeli berbagai manik. Bermacam-macam warna. Tetap saja ia merasa manik-manik yang dimilikinya kurang banyak.
“Hai... kamu di sini ternyata.” Seruan Febby mengagetkan Monik.
“Iiya... kamu mencari aku?”
“Iya, aku dan Koko mencari kamu.” Febby menatap Monik dengan pandangan sungguh-sungguh.
Mendengar nama Koko disebut, Monik langsung merasa gugup. Cepat-cepat ia mengambil satu butiran manik merah dan memasukkan benang nilon ke dalam lubang di tengah butiran. Secercah cahaya memantul dan menimbulkan kilau indah di mata Monik. Monik tersenyum ia sudah merasa tenang. Jemarinya terus bergerak.
“Tumben mencariku. Ada apa sih?” tanyanya santai.
Febby memperhatikan sejenak jari Monik yang bergerak lincah, kemudian menjelaskan dengan bersemangat.
“Mon, sebentar lagi,kan, perayaan hari besar.. Di sekolah kita akan ada bazar. Koko mengusulkan agar kelas kita membuka stand khusus. Kamu dan teman-teman boleh menjual hasil kreativitas di stand kelas, tetapi keuntungannya akan disumbangkan pada yayasan disabilitas. Gimana?”
Tangan Monik tertahan. Ia terkejut mendengar uraian Febby.
“Serius, Feb? Kamu dengar dari mana?” Tangannya kembali bergerak.
Febby memonyongkan bibirnya.
“Kamu sih kabur-kaburan melulu setiap jam kosong dan jam istirahat. Jadi kudet.”
Monik tertawa kecil.
“Jangan cuma senyum-senyum. Kamu setuju enggak? Sayang kan kalo gantungan kunci dan segala macam pernik yang kamu buat mubazir?”
Ingatan Monik melayang ke meja belajarnya yang penuh dengan aneka gantungan kunci. Sesuatu melintasi pikirannya.
“Kapan diadakan bazar?” tanyanya kemudian.
“Dua minggu lagi.” Jawab Febby. “Bisa?”
Monik menganggukkan kepalanya pelan.
**
Monik memasukkan gantungan kunci terakhirnya ke dalam kotak dengan perasaan puas. Tak sia-sia selama dua minggu ini ia bekerja keras membuat gantungan kunci. Ia memang gagal membuat gantungan kunci spesial untuk Koko. Sebagai gantinya ia membuatkan 1000 buah gantungan kunci yang akan disumbangkannya untuk acara bazar di sekolahnya.
Ia membayangkan ekspresi terkejut di wajah cowok yang berdiam di relung hatinya itu. Ia tahu, ia tak mungkin bisa bersama Koko. Di sana sudah ada Febby yang diam-diam selalu Koko pandang dengan tatapan penuh arti. Ia juga pernah menemukan selembar kertas yang tertinggal di ruang ekskul, ruang tempat ia menemukan Koko yang tengah serius menulis. Kertas yang telah mengungkapkan perasaan terdalam Koko pada Febby. Kenyataan pahit yang membuatnya kesulitan meronce gantungan kunci spesial untuk Koko, meski pun ia telah berusaha sungguh-sungguh.
Monik menarik napas dalam-dalam. Ada rasa lega setelah sekian lama ia mencoba mengingkari kenyataan itu. Mengingkari rasa nyeri yang menghunjam setiap kali ingatannya melayang pada cowok bermata teduh itu.
Namun ada sebuah alasan lain yang ia tutup rapat-rapat. Sebuah rahasia yang menghantui seumur hidupnya.
Monik memejamkan mata, mengusir kabut yang membayangi bola matanya. Setitik air jatuh menimpa kotak manik-manik yang telah kosong. Sesaat Monik merasa gamang. Tubuhnya terasa amat letih. Pikirannya mendadak kosong. Pelahan kesadarannya pun lesap.
Ketika membuka mata, dilihatnya kerut di kening mama bertambah dalam. Meski tersenyum, ia tahu, mama mencoba menyembunyikan kesedihan terdalamnya.
“Aku kambuh lagi ya, Ma?”
Mama menggangguk pelan.
Mata Monik berkabut. Epilepsi. Serupa hantu yang membayangi kehidupannya. Membuat ia merasa tak pantas untuk siapa pun. Termasuk Koko. Sekuat tenaga ia menahan air matanya agar tak tumpah di depan mama. Mama menggenggam tangannya erat.
“Jadilah gadis kuat, Nak. Mama yakin, kamu bisa. Sebab hidup tak pernah bertambah mudah. Tapi kamu akan jadi pemenangnya.”
Airmata Monik pun luruh. Akan tetapi di dalam dadanya sebentuk hati baru telah terbentuk, jauh lebih kuat dari sebelumnya. Tamat.
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah memberi komentar terbaik. Ditunggu kunjungan berikutnya.
Salam hangat ... :)