Selasa, 12 Juli 2022

Bisnis Kuliner Online, Solusi Tepat di Masa Sulit

 

Bisnis kuliner online perlu jaringan internet yang kuat (Foto : Fixabay)

Tak ada yang betul-betul buruk sebetulnya dalam kehidupan ini. Bahkan pada titik terburuk pun, selalu terselip banyak hikmah dan kebaikan di dalamnya. Kita, hanya, seringkali tidak menyadarinya.

Dua tahun lalu, contohnya, saat wabah Corona menerjang, kondisi keuangan keluarga kami terkoreksi besar-besaran. Kondisi itu bertambah buruk saat anak kedua saya sakit, lalu pergi untuk selamanya. Saya terpukul, pastinya. Tak ada seorang ibu pun yang sanggup ditinggal buah hati yang mendiami puncak hatinya. Anak,  sekaligus sahabat dan harapan di masa depan.

Saya merasa patah hati sejadi-jadinya. Jika bisa berkubang dalam kesedihan, maka itulah yang akan saya lakukan sepanjang hari. Namun, itu sungguh tak adil bagi anak-anak yang lainnya. Bukankah mereka pun sama berharganya? Dan mereka membutuhkan ibu yang sehat dan bahagia. Mau tidak mau, saya harus menyingkirkan air mata di hadapan mereka. Sungguh, itu bukanlah hal yang mudah.

Konon kesibukan seringkali efektif untuk membunuh kesedihan, dan, itulah yang kemudian saya lakukan. Saya harus keluar dari kesedihan sesegera mungkin. Demi kesehatan, demi anak-anak...

Dapur MomaLiza dan Peran Komunitas
Foto cantik dari customer Dapur MomaLiza (Foto : Teh Icha)

Aktivitas apa yang bisa menyibukkan saya di saat PPKM tengah diberlakukan dengan ketat? Ide itu muncul di tengah kondisi yang serba tidak pasti. Namun bukankah peluang itu harus diciptakan? 

Kondisi pandemi yang membuat sebagian orang takut keluar rumah, justru menjadi peluang bisnis bagi saya. Alih-alih berdiam diri di rumah dan terus bersedih hati, saya memilih berbelanja ke pasar untuk mewujudkan ide dengan memulai usaha kuliner. (Ssst, ada yang bilang jika ingin membuka usaha, carilah usaha yang menyangkut kebutuhan hidup sehari-hari, dan saya memutuskan untuk mencoba bisnis kuliner).

Melalui jejaring sosial Facebook, saya menawarkan produk pertama Dapur MomaLiza : Paru Ungkep dengan varian rasa original dan pedas.

Produk pertama Dapur MomaLiza ini mendapat sambutan hangat dari teman-teman Facebook, terutama teman-teman penulis. (Thanks a lot, Guys... ) Dukungan komunitas penulis ini, jujur saja, menjadi bagian penting dalam perjalanan bisnis kuliner saya.

Saya tidak hanya mendapat customer loyal, namun juga mendapatkan promosi-promosi gratis yang mengenalkan produk Dapur MomaLiza ke lingkungan yang lebih luas. (Sekali lagi, terima kasih banyak..., tanpa kalian tak terbayang, bagaimana caranya berdiri tegak di masa sulit).

Dengan dukungan penuh teman-teman penulis, pelan-pelan Dapur MomaLiza mulai menambah varian menu : Paru Aceh, Ayam/Bebek Rica-rica, Ayam/Bebek Ungkep, Sambal Goreng Ati, Beef Teriyaki, dan Goreng Garem menjadi menu yang bisa pesan kapan saja.

Produk Dapur MomaLiza (Foto : Darwan)


Oya, bukan tanpa alasan,  jika saya lebih memilih menu-menu khas daerah. Selain karena rasanya yang kuat dengan rempah-rempah alami, menu-menu tersebut memiliki cita rasa yang khas. Hanya mengandalkan bumbu alami saja,   tanpa tambahan MSG buatan, rasanya sudah sedap.

Untuk menjaga kualitas rasa, saya hanya menggunakan bumbu-bumbu dapur yang segar. Juga bahan-bahan terbaik. Saya tidak pernah main-main soal ini. Contohnya saat membuat Goreng Garem, saya menggunakan minyak goreng yang selalu baru dengan kualitas yang bagus. Saya juga tidak memakai minyak goreng berulang kali, meski sama-sama menggoreng bawang.

Bukan apa-apa. Saya hanya merasa itu hak customer untuk mendapatkan produk terbaik. Tak adil rasanya jika menggunakan minyak bekas untuk menggoreng bawang, padahal mereka membayar dengan harga yang sama.

Goreng Garem by Dapur Momaliza sudah jalan-jalan di Jerman loh (Foto : Pribadi)

Ada satu rahasia kecil yang agaknya perlu saya bagi di sini. Ada yang mau tahu? Atau, mau tahu banget? Hehehe... Ok. Meski nggak ada yang mau tahu, saya tetap mau berbagi kok. Biar nggak jadi rahasia lagi dan bisa diambil hikmahnya.

Bakat atau Kepepet ?

Sejujurnya saya nggak punya bakat memasak. Teman-teman yang kenal saya sejak jaman kuliah pasti tahu banget kedudulan saya di dunia masak. Tapi, ya, saya beruntung punya Mamah yang pintar masak. Meski sering diusir dari dapur (supaya rajin belajar), sedikit-sedikit saya paham tehnik memasak. Mamah pun sering memberi tips masak, meski saya tak tertarik untuk memasak.

Kebisaan saya memasak sebetulnya berkat bantuan internet. Serius lho. Belajar masak  juga dari Youtube. Sesekali –jika lagi rajin-- mencoba resep-resep yang berhamburan di internet. Asalkan mau mencoba, kita bisa memasak menu apa saja. Saya mencoba dari resep-resep yang mudah dan simpel, hingga akhirnya menemukan resep yang pas di lidah keluarga. Jadi, manfaat internet itu terasa banget bagi saya yang sama sekali tidak memiliki ilmu memasak ketika memasuki dunia rumah tangga.

Bayangkanlah, dulu, bagaimana tersiksanya suami saya menghabiskan masakan buatan istrinya yang nggak jelas, sebelum kehadiran IndiHome, Internetnya Indonesia ini. Maksud hati masak semur daging, yang ada rasanya asin, atau masak gulai tapi jadinya aneh. Ya semacam itulah. Bahkan, bapak saya sendiri trauma dan menolak menu kesukaannya setelah mencicipi masakan buatan saya. Hiks. Saking payahnya saya memasak.

Patut disyukuri memang kehadiran IndiHome, yang menjadi salah satu produk dari Telkom Indonesia ini. Internetnya Indonesia dengan jaringan kabelnya yang stabil dan mantap, memudahkan penggunanya mencari berbagai informasi yang dibutuhkan untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan diri saat menghadapi masa-masa sulit penuh tekanan. Mengubah situasi kepepet menjadi duit. Aih, sedap kan?

Jadi, tak bisa memasak bukan berarti tak bisa membangun bisnis kuliner lho. Manfaatkan saja berbagai fasilitas yang ada. Termasuk internet dan jaringan pertemanan di media sosial. Jangan hanya terjebak di mom war-mom war yang tak kunjung selesai. Hidup terlalu berharga untuk dihabiskan dalam perdebatan.

Lebih baik gunakan waktu untuk terus mencari strategi bisnis, syukur-syukur bisa merambah hingga ke mancanegara. Dream banget kan ini?


 

Sabtu, 09 Juli 2022

Disleksia Bukanlah Kekurangan, Melainkan Anugerah

 

Anak disleksia itu biasanya kreatif dan pantang menyerah (Foto Fixabay)

Setiap anak itu unik. Betapa saya sangat memahami kalimat ini. Menjadi ibu dari 7 orang anak,di mana, tak satu pun di antara mereka memiliki kesamaan, baik secara fisik, hobi maupun kebiasaan, mau tidak mau membuat saya terus belajar.

Mereka lahir dan tumbuh dengan keunikannya masing-masing. Membawa cerita yang tak sama, meski terlahir dari rahim yang sama. Meski darah yang mengaliri mereka berasal dari darah yang sama. Mereka betul-betul berbeda.

Salah satu yang paling unik di antaranya adalah Zidna.

Awal menyadari kehadirannya bersemayam dalam rahim saja sudah membuat saya terkejut setengah mati. Karena kakaknya, anak ke-5, baru berusia 10 bulan ketika itu, dan saya sama sekali belum menstruasi sejak melahirkannya.

Cacar di Trisemester Pertama

Belum lewat rasa kaget saya, pada trimester pertama kehamilan, wabah cacar menyerang anak-anak. Semua kena, termasuk saya, hanya suami yang tidak. Dokter menyarankan agar memperbanyak doa. Karena trisemester pertama kehamilan merupakan masa paling penting dalam pembentukan organ vital. Termasuk panca indera. Rasanya itulah pertama kali saya mengalami rasa sedih yang begitu dalam selama menjalani masa-masa kehamilan. Sedih membayangkan seperti apa anak yang akan lahir 8 bulan kemudian.

Maka begitu Zidna lahir dengan kondisi yang sehat sempurna dan cantik --matanya betul-betul indah, besar dan cemerlang-- saya banyak-banyak bersyukur. Begitu juga ketika saya cek fungsi pendengaran, Alhamdulillah, baik-baik saja. Syukur tak sudah-sudah.

Baby Zidna tumbuh sehat, meski pun sempat ada drama keracunan ASI pada bulan-bulan pertama kelahirannya. 

Keracunan ASI

Jadi ceritanya, saat itu tubuh baby Zidna menguning sekuning-kuningnya. Dari bola mata, lidah dan seluruh tubuhnya. Meski sering dijemur, dan diberi ASI. Dan berbeda dengan anak lainnya yang jumlah bilirubinnya tinggi, ia bayi yang aktif dan lincah. Karena bingung, saya berkonsultasi ke dokter langganan.

Dokter menyarankan untuk menghentikan pemberian ASI. Aneh kan? Saya terkejut, banget! Jika bagi bayi yang lain ASI menjadi sumber nutrisi terbaik, tapi bagi baby Zidna, ASI bisa membunuhnya.  

Kami tentu saja tak menerima begitu saja saran dokter. Dengan menggunakan internet, kami akhirnya menemukan informasi yang mendukung saran dokter. Rasanya ingin tak percaya, tapi kok nyata?

Selesai drama ASI, Zidna tumbuh lincah dan pemberani. Meski baru bisa berjalan, ia sudah bisa naik tangga sendiri. Menghampiri ibunya yang tengah asyik menjemur baju. Mules rasanya setiap kali membayangkan kejadian itu. Sampai-sampai saya tidak berani meninggalkan Zidna sendiri di bawah jika saya sedang di lantai atas.Nekat anaknya, padahal belum genap 2 tahun usianya.

Rasa ingin tahunya pun besar. Itu mungkin yang membuatnya suka membongkar mainan kakaknya dan menimbulkan keributan. Bayangkan kehebohan yang ditimbulkan para balita itu. Siapa yang suka jika mobil-mobilan kesayangan dibongkar? Sedangkan yang membongkar sama-sekali tak merasa bersalah. (Emaknya tarik napas panjang sekali 😅)

Anehnya Zidna tidak pernah mau diajari bicara. Setiap kali menginginkan sesuatu, ia hanya menunjuk ke arah benda yang dimaksud. Atau menarik tangan ibunya agar bergerak ke arah yang diinginkan. Jika ibu dan kakaknya mengajarinya mengucapkan suatu kata, ia marah dan tak suka.

Harusnya sebagai seorang ibu yang baik, saya merasa cemas dan bergegas ke klinik tumbuh kembang. Sayangnya saya bukan ibu yang baik. Hiks. Saya merasa cukup tenang saat ia bisa mengucapkan kata : "Bapak" dan "Ibu" dengan baik. Selama bisa mengucapkan huruf konsonan, maka ia tidak bermasalah. Begitu anggapan saya.

Zidna kecil, lucu dan menggemaskan (Koleksi Pribadi)

Sudahlah Delay Speech, Disleksia Pula

Bukan tanpa alasan sih, karena salah satu kakak Zidna juga delay speech, baru bisa bicara lancar (hingga akhirnya cerewet) ketika naik kelas 2 SD, dan pernah mengikuti terapi wicara. Saya cukup pede dengan pengalaman kakaknya itu, bahwa Zidna kelak akan bisa bicara lancar seperti saudara-saudaranya.

Dan itu benar, menjelang masuk SD Zidna sudah secerewet  kakak-kakaknya. Hanya bedanya, ia tidak mau belajar membaca. Jangankan membaca, menyanyikan lagu ABC (sambil melihat huruf-huruf) saja, dia menolak. Apa pun akan dilakukannya dengan senang hati, kecuali belajar membaca.

Semula saya pikir, mengajari anak perempuan membaca tidak lebih sulit dari mengajari kakaknya yang juga delay speech, ternyata saya salah. Bergonta-ganti guru les baca tak membuat Zidna bisa dan mau belajar membaca. Berbagai iming-iming hadiah dan ancaman juga tak membuatnya tergerak untuk belajar membaca.

Hingga akhirnya kami menyadari Zidna ternyata disleksia. Ia mengeluh pusing dan bingung setiap kali melihat huruf-huruf. Ia memang sangat kreatif, tekun, rapi dan menyukai motif-motif rumit di buku mewarnai, namun ia membenci huruf-huruf dan angka-angka.

Hasil mewarnai Zidna, ia suka pola yang rumit (Foto : Pribadi)

Saya dan suami kemudian sibuk mencari informasi tentang disleksia. Mengakses banyak video tentang disleksia di Youtube. Ini tidak terlalu sulit jika menggunakan Internetnya Indonesia, IndiHome, yang selalu meningkatkan kualitas layanannya. Sebagai produk dari Telkom Indonesia, yang terus melakukan perbaikan rasio yang meningkatkan kecepatan proses transfer data serta menurunkan rasio hambatan data yang diterima, sehingga memudahkan kami mencari berbagai informasi yang dibutuhkan dengan cepat, karena jaringan internet yang stabil dan lancar. 

Manfaat internet yang  juga terasa sangat membantu, saat mencari metoda belajar yang cocok untuk anak disleksia. Dengan kemudahan berinternet, kami bisa mencari video-video pembelajaran mudah dan tepat. Salah satu metoda yang sering kami gunakan adalah dengan membuat kartu-kartu bergambar. Untuk membantu melekatkan huruf-huruf dalam ingatan Zidna. 

Kartu-kartu bergambar buatan bapaknya Zidna (Koleksi Pribadi)

Metoda belajar memadukan gambar dan suku kata (Foto : Nurhayati Pujiastuti)

Selain itu, saya juga banyak berkonsultasi dengan teman-teman yang berprofesi sebagai psikolog dan pemerhati pendidikan juga penulis yang terlibat langsung dengan pendidikan anak usia dini, Bunda Nurhayati Pujiastuti.Tak terbayangkan jika saat ini tak ada jaringan internet yang membantu kami untuk lebih memahami kondisi Zidna.

Banyak tips dan materi yang saya peroleh dari beliau bagaimana cara mengajari anak disleksia. Salah satu quote yang paling menarik adalah, “Jangan hanya mengajari anak agar bisa membaca, namun ajari anak agar cinta membaca.”

Mengajari Zidna membaca masih menjadi PR bagi kami. Namun, saya optimis, Zidna pasti bisa membaca. Hanya harus memperpanjang sabar, dan terus pantang menyerah mengulang-ulang memasukkan huruf demi huruf ke dalam bilik kelabu otaknya. Saya yakin Zidna tidak bodoh. Ia hanya perlu dibantu agar tak tersesat di belantara huruf-huruf yang membingungkan dan mengintimidasi.

Seperti ujar seorang teman penulis, yang pernah mengalami disleksia dan menjadi sarjana hukum dari universitas ternama, disleksia itu bukan kekurangan, melainkan suatu anugerah. 

Sungguh, ini PR yang luar biasa bagi kami. Semoga Allah memampukan kami mendidik dan mengantarkan Zidna menjadi anugerah bagi orang-orang di sekelilingnya, juga bagi kehidupan yang lebih luas. Aamiin....

Referensi :https://www.cnbcindonesia.com/tech/20220420142028-37-333214/cek-deh-ini-sederet-inovasi-indihome-demi-internet-ngebut

Rabu, 06 Juli 2022

6 Hal Yang Harus Dilakukan Saat Merawat Anak DBD Di Rumah

 

 

Manfaat internet saat merawat anak DBD di rumah (Foto : Fixabay)

Bulan Maret lalu menjadi bulan yang tak terlupakan. Sampai saat ini, mengingatnya saja sudah membuat saya merinding dan bersyukur, bahwa masa-masa ‘mengerikan’ itu-- dengan pertolongan Allah-- akhirnya bisa kami lewati. Alhamdulillah...

Saat itu perumahan kami dan perumahan lain di sekitar, tengah  mengalami wabah demam berdarah. Hampir setiap rumah yang memiliki anak, terserang demam. Jika tidak typhus, hampir dipastikan hasil diagnosis berdasarkan cek darah, terkena wabah demam berdarah yang dibawa oleh nyamuk Aedes Agaepty Dengue.

Tidak pernah ada kejadian seperti ini sebelumnya. Tidak pernah juga terlintas dalam pikiran saya, bahwa anak-anak saya akan mengalami serangan nyamuk ini. Bukan hanya satu-dua orang saja, melainkan 5 anak sekaligus, kecuali si kecil yang lolos dari virus ini karena pertolongan Allah semata, meski tak urung suhu tubuhnya selalu di atas 38 derajat celcius selama 2 pekan.

Melihat kondisi Zidna, yang sudah berhari-hari demam, lemas dan bibir pecah-pecah saya ingin segera membawanya ke rumah sakit, sesuai dengan instruksi dokter saat mengetahui hasil cek darah. Dokter menekankan bahayanya jika membiarkan anak tetap di rumah dengan jumlah trombosit yang turun drastis. Hanya sekitar 100 rb saja hasil cek darah saat itu.

Namun, berbeda dengan keinginan saya, suami menolak keras membawa anak ke rumah sakit. Alasannya, yang sakit tidak hanya satu anak, melainkan semua anak. Bagaimana mungkin keenam anak yang sedang demam tinggi dibawa ke rumah sakit? Siapa yang menjaga mereka di rumah sakit, jika di rumah sakit mereka dapat ruangan yang terpisah? Bagaimana jika ada yang harus dirawat dan ada yang cukup dirawat di rumah?

Ini bukan hanya masalah biaya saja, melainkan juga masalah tenaga. Sesanggup apa kami menjalani aktivitas antara rumah dan rumah sakit. Antara memenuhi kebutuhan yang masih sehat dan mendampingi anak-anak di rumah sakit.

Kami berdebat sengit kala itu, meski akhirnya saya mengikuti keinginan suami untuk merawat semua anak di rumah saja. Tentu dengan pembagian kerja yang jelas, bahwa yang bertanggung jawab merawat semua anak yang sakit adalah suami. Sementara saya cukup membantu sebisanya dan memastikan persediaan logistik, dari makanan hingga obat-obatan terpenuhi.

Keputusan yang diambil suami saya tentu bukan keputusan yang main-main, terlalu berani. Taruhannya adalah nyawa. Kami sudah merasakan luka mendalam ditinggalkan seorang anak, dan itu meninggalkan trauma. Kali ini, sungguh tak ingin ada lagi yang pergi meninggalkan kami.

Keputusan itu bukan tidak berdasar, suami bersikeras memutuskan setelah membaca banyak informasi di internet tentang penangan DBD. Juga dengan memanfaatkan konsultasi medis secara online dengan aplikasi kesehatan via internet. Untuk kondisi tertentu, kita bisa meminta kunjungan dokter dengan bantuan aplikasi kesehatan. Jadi manfaat internet saat merawat anak DBD betul-betul membantu kami melewati masa-masa kritis.  Begitu juga informasi dari teman-teman yang berbagi tips merawat anak DBD di rumah.

Aplikasi kesehatan untuk pendampingan dan konsultasi online (Foto :Alodoc)

Alhamdulillah dengan berbagi peran yang jelas (suami saya terpaksa cuti 10 hari, dan 24 jam nonstop mendampingi anak-anak di rumah), saling dukung dengan pasangan, juga suport dari keluarga dan teman-teman baik berupa materi dan doa, masa-masa sulit itu akhirnya berhasil kami lewati. Tiga pekan yang mendebarkan.

Oya, berikut ini tips yang kami lakukan saat merawat anak DBD di rumah.

Tips Merawat Anak DBD di rumah :

1.      Jangan panik

Jika kondisi tidak memungkinkan merawat anak di rumah sakit, hal pertama yang harus kita lakukan adalah tetap tenang dan tidak panik. Serangan panik akan membuat kita tidak bisa fokus mencari informasi dan membantu anak melewati masa kritisnya dengan baik.

2.      Sediakan turun panas dan cek suhu tubuh secara berkala

 

Pengecekan suhu secara berkala untuk mengetahui kondisi anak (Foto: Fixabay)

Serangan DBD akan membuat anak mengalami demam tinggi, tak jarang akan membuat anak meracau. Ceklah suhu tubuh anak secara berkala, untuk mengetahui kondisi anak setiap saat (suami saya mencek dan mencatat perjam seluruh suhu tubuh anak).

Sediakan paracetamol  yang cukup di rumah untuk menurunkan suhu tubuh anak. Berikan 3-4 kali sehari untuk membantu anak mengurangi efek demam. Kompres dengan air hangat bisa membantu mengurangi demam pada anak.

Hindari pemberian Ibuprofen yang bisa menimbulkan efek samping pada kesehatan lambung anak. Waspadai juga masa-masa kritis anak (biasanya hari ke-5 sampai hari ke-7) saat suhu tubuh mendadak turun. Inilah yang disebut pelana kuda. Biasanya suhu tubuh akan kembali naik tinggi lalu perlahan turun menuju suhu normal.

3.      Pastikan asupan cairan dan makanan yang cukup

Anak yang terserang DBD umumnya malas makan dan minum, maka kita wajib memastikan ada makanan dan cairan yang cukup. Jika perlu dengan memaksa anak untuk tetap makan dan minum, meski sedikit namun sering itu lebih baik daripada tidak sama sekali.

Berilah makanan yang lembut, seperti bubur, bubur susu atau biskuit. Pastikan anak untuk menghabiskan setidaknya 2 liter cairan per hari.

Kita juga bisa memberikan jus jambu merah, larutan penyegar atau cairan pengganti ion tubuh untuk menghindari dehidrasi pada anak.

Madu, salah satu herbal yang sangat dianjurkan untuk membantu meningkatkan daya tahan tubuh anak(Foto : Fixabay)

4.      Sediakan herbal yang cukup

Banyak cara meningkatkan daya tahan tubuh dan jumlah trombosit. Selain jus jambu merah, rebusan daun jambu, rebusan daun ubi, kita juga bisa memberikan anak madu murni, madu angkak, sarikurma, vermin (obat cacing) dan propolis. 

Pilihlah yang paling disukai anak, dan berikan sesering mungkin.

5.      Jangan biarkan anak melakukan aktivitas berlebihan

Anak DBD akan merasakan tubuh yang lemas, sehingga rentan sekali terjatuh. Bila anak jatuh, maka kondisinya akan membahayakan karena memicu pecahnya saluran darah, terutama di bagian vital. Untuk menghindari hal itu, maka anak wajib menjalani bedrest.

Untuk menghindari kebosanan dan jenuh, kami membebaskan anak-anak untuk melakukan kegiatan yang mereka sukai, asal tetap berada di tempat tidur. Selain mewarnai, biasanya  anak-anak memilih menonton film.

IndiHome Interaktif TV bisa jadi pilihan untuk menghindari rasa bosan anak (Foto : IndiHome, Telkom Indonesia)

Memiliki TV Interaktif (UseeTV) sebagai salah satu produk IndiHome, sangat membantu menghilangkan kejenuhan anak-anak. Menonton tayangan menarik membuat anak lupa akan rasa sakit dan rasa bosan karena berada di tempat tidur saja. Maka jangan heran jika IndiHome, sebagai Internetnya Indonesia, menjadi pilihan para orangtua untuk menemani berbagai aktivitas  di rumah. 

Banyak film menarik untuk anak di UseeTV (Foto : IndiHome, Telkom Indonesia)

6.      Dampingi anak selama menjalani masa kritis hingga pemulihan

Mendampingi anak 24 jam selama sakit akan membuat anak merasa disayangi dan diperhatikan, hal ini sangat membantu menaikkan imunitas  anak hingga bisa melewati masa kritis dan masa pemulihan.

Namun hal ini hanya bisa dilakukan dengan adanya kerja sama yang baik antara ayah dan ibu, juga seluruh anggota keluarga. Juga doa yang tak henti dipanjatkan pada Sang Khaliq, Allah Ta’ala.

Demikian pengalaman kami merawat anak-anak saat DBD di rumah. Semoga tulisan ini bermanfaat. Tetap semangat melakukan aktivitas tanpa batas bersama Telkom Indonesia.

 

Museum Geologi Bandung, Wisata Edukasi Murah Meriah

Museum Geologi Bandung, wisata edukasi murah meriah (dok.pri) Liburan  paling asyik jika diisi dengan acara jalan-jalan bareng keluarga. Ngg...